KOMUNIKASI yang baik antara lain bercirikan proses dialogis. Komunikasi bersifat interaksi dari dua arah, seperti antara orang tua dengan anak. Bahkan, sejak anak berusia sangat muda atau baru bisa bicara beberapa kata. Urgensinya bertambah ketika usia mereka beranjak remaja.
Banyak keluarga di Indonesia terbiasa komunikasi searah. Orang tua sering lebih banyak bicara dibanding anak. Kontennya memang sepintas tampak baik, seperti: menasehati, melarang, dan mengarahkan. Namun tidak cukup dialogis. Anak hanya sedikit diberi kesempatan berbicara untuk memberi informasi atau menyampaikan pendapatnya.
Komunikasi demikian dapat berlangsung bertahun-tahun. Orang tua sering terlambat menyadari bahwa anak beranjak remaja, bahkan mulai dewasa. Anak tumbuh dalam suasana psikologis merasa tidak didengar dan kurang dihargai. Dampaknya akan cukup besar bagi kepribadian mereka, dan bisa dipastikan bersifat buruk.
Komunikasi yang dialogis sebenarnya bukan hal sulit dilakukan, namun membutuhkan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua lah yang harus memulai dan terus menciptakan suasana kondusif. Langkah utama justeru bukan dengan banyak berbicara, melainkan rajin mendengarkan.
Orang tua perlu mendengarkan anak sejak mereka baru bisa mengucapkan beberapa kata. Bahkan, ketika bicaranya belum terlampau jelas. Bukan asal mendengarkan, melainkan secara sungguh-sungguh berusaha memahami maksud anak.
Bagian tulisan terdahulu menyarankan orang tua berlatih menterjemahkan secara bebas bicara anak yang masih belum berupa kata atau kalimat utuh. Pada saat mereka sudah mulai banyak bertanya, orang tua mesti rajin menjawabnya. Bahkan, tak segan untuk menanggapi pernyataannya.
Pada saat bersamaan, orang tua perlu sering bertanya kepada anak. Pertanyaan yang disampaikan secara jelas dan kadang diulang-ulang. Pertanyaan yang memancing anak untuk bercerita. Pada usia tertentu akan tampak memberi kesempatan anak menyampaikan pendapatnya.
Kami terbiasa melibatkan anak sejak kecil dalam banyak pembicaraan tentang aktivitas keluarga. Misalnya ketika mau pergi jalan-jalan bersama. Perbincangan ringan tentang tujuan, sarana transportasi dan prakiraan waktu perjalanan.
Komunikasi dialogis yang dibiasakan sejak dini, akan mendorong anak mengembangkan dirinya. Semua anak yang memang sudah terlahir pintar, akan terdorong menjadi makin pintar.
*******
Komunikasi dialogis tidak berarti orang tua dilarang memberi nasihat ataupun perintah. Namun hal itu berlangsung dalam kondisi percakapan yang memberi kesempatan kepada anak tanpa rasa takut menyampaikan pikirannya. Nasihat dan perintah orang tua perlu dimengerti alasannya oleh mereka.
Komunikasi dialogis juga bercirikan isi pembicaraan yang logis. Tentu saja makna logis di sini bersifat umum, yakni bisa diterima akal sehat atau dapat dinalar. Selalu diupayakan ada alasan yang cukup jelas tentang suatu masalah. Termasuk dalam nasihat, perintah dan larangan orang tua.
Ira kecil pernah heran dan tampak iri pada anak tetangga yang jauh lebih besar dari dirinya. “Kok masnya boleh main air hujan? Ira kok nggak boleh?” tanyanya. Saya jawab, “Ira masih kecil. Badannya belum kuat kena air hujan yang lama. Masih mudah pilek.” Oleh karena dia ingat pernah pilek yang rasanya sangat tidak nyaman, dia pun tampak menerima dilarang main hujan.
Meski demikian, perbincangan belum berakhir. Ira masih bertanya, “Masnya nggak mudah pilek ya, Mi?” Saya sahuti, “Ya, badannya sudah lebih kuat.” Setelah diam sebentar, Ira masih berkata, “Kalau sudah besar seperti masnya boleh ya, Mi?” Tidak ada pilihan bagi saya, selain mengiyakan, “Ya, asal badanmu sedang sehat.”