BARISAN.CO – Anda mungkin familier dengan penerjemah-penerjemah “rockstar” seperti Nazaret Setiabudi atau yang sempat jadi perbincangan karena terjemahannya yang lumayan bagus: Fajri Mulyadi.
Selain sebagai penerjemah, saya juga adalah penonton. Hanya saja, saya lebih awas melihat tata kata yang tertera di tiap subtitle. Tidak jarang saya memuji penerjemah-penerjemah yang bagus.
Namun, sesekali saat menonton film (terutama di Mola), apalagi melihat kualitas bahasa yang jelek, saya hampir selalu menyambat: “Mending Pein Akatsuki.”
Subtitle adalah Seni (?)
Menerjemahkan subtitle tidak sama seperti menerjemahkan teks dokumen atau teks abstrak skripsi.
Subtitle membutuhkan suara hati. Saat membaca, seringkali kita mendengar suara hati kita melafalkan kata per kata yang kita baca, maka subtitle, yang pengejawantahannya dibarengi dengan visual dan audio, pun seperti itu. Membayangkan Benedict Cumberbatch berbicara bahasa Indonesia sambil seketika menghitung jumlah karakter dalam satu telop (tampilan sebaris/dua baris kalimat/frasa terjemahan di bawah layar), bukanlah perkara penerjemahan biasa. Subtitle, bagi saya, adalah karya seni. Seni akan bermakna jika kesannya “mengganggu” atau menggugah. Barangkali sudah merupakan postulat umum di antara para penggemar film: jika film-nya bagus, maka sudah pasti film itu akan terus dibicarakan usai ditonton. Maka bagi saya: jika subtitle-nya bagus, sudah pasti film itu akan dipelajari usai ditonton.
Karenanya, semakin penonton tidak menyadari bahwa mereka sedang membaca subtitle saat menonton, semakin bagus. Karya seni itu benar-benar sukses mewakili suara hati kita.
Namun, kepentingan industri berkata lain. Saya mengingat beberapa kolega yang banting setir ke bidang lain karena merasa industri ini tidak dapat menghidupi mereka, atau mungkin beberapa yang hanya menganggap profesi ini sebagai sampingan saja. Industri acap mendemoralisasi para penerjemah berkualitas dan berpengalaman, menekan dengan tenggat yang mepet, sehingga kualitas bacaan subtitle yang seharusnya sangat fundamental bagi para penonton terasa tidak bermakna lagi, atau dalam arti sederhana: jelek.
Sehingga, problematis rasanya jika agensi subtitle tersebut mengutip pernyataan Bong Joon Ho yang amat terkenal itu, saat kenyataannya mereka tidak mengindahkan nasib freelancer yang ditekan dengan upah yang sedikit dan tenggat yang cepat.
Padahal, penerjemah-penerjemah subtitle yang hebat adalah mereka yang mampu mengangkat animo perfilman ke permukaan, dijadikan bahan obrolan di ruang publik, atau bahkan dijadikan meme sebagai bahan candaan.
Bisa melihat terjemahan rap “Ciputat, Ciledug, Ciputat, Ciledug” karya Deaz Putri, begitu pun rap di film Project Power yang diterjemahkan oleh Rizky Soraya sesuai rima, begitu menyenangkan rasanya. Saya pun senang menonton Crash Landing on You yang diterjemahkan Fajri Mulyadi secara rapi dan kiwari. Saya bisa menebak bahwa penerjemah-penerjemah ini benar-benar andal dan berpengalaman.
Penerjemah memegang peranan vital dalam dunia hiburan, membantu para sineas luar negeri mengomunikasikan visi mereka, menyampaikan pesan inspirasi, dan tentu membuat penonton terhibur. Penerjemah pula menjadi salah satu dari garda terdepan cross-cultural learningdalam budaya pop, peran ini bukanlah remeh. Penerjemah bukan pendukung teknis biasa.
Anggapan bahwa subtitle bahasa Indonesia itu jelek masih mengakar dalam pemahaman penonton film di Indonesia. Berdasarkan pengalaman, mereka yang menilai subtitle bahasa Indonesia jelek akan lebih memilih mematikan subtitle atau memakai subtitle bahasa Inggris. Alih-alih membantu, bahasa Indonesia malah dianggap mengganggu keleluasaan kala menonton. Stereotipe ini memang masih sebatas postulat populer, tetapi jika kita runut satu per satu: tidak hanya kualitas subtitle Lebah Ganteng, Pein Akatsuki, dan penerjemah fansub lain misalnya, bahkan kanal-kanal TV kabel, kanal-kanal TV terestrial, platform OTT seperti Catchplay+, IFlix, WeTV, MolaTV, VIU, hingga yang reputasinya sudah mapan seperti HBO GO, Disney+, dan Netflix pun terdapat kualitas subtitle bahasa Indonesia yang tidak merata. Lantas, apa yang menyebabkan kualitas penerjemahan kita serendah ini?