BARISAN.CO – Bertengkar di depan bayi sangat mempengaruhi perkembangan fungsi otak. Sebagaimana kisah Doni dan Leli dalam pandangan kesehatan, Doni dan Leli menikah meski usia keduanya masih sama-sama muda. Sebenarnya fenomena menikah muda masih banyak dijumpai di era modern ini.
Selang satu bulan setelah menikah, Leli mengandung sampai persalinan yang Alhamdulillah lancar. Kini bayinya baru berumur dua bulan, sebagai rumah tangga baru tentu sangat bahagia karena begitu cepat mereka diberikan momongan.
Namun terkadang seseorang yang telah berkeluarga dan memiliki anak belum menjadi jaminan akan pasti menjadi dewasa. Terlebih kedua pasangan muda itu, memiliki sikap dan emosi yang terkadang tidak bisa terkontrol. Sedikit saja ada masalah kadang bisa memicu pertikaian, paling tidak minimal adu mulut. Tak sedikit ketika percekcokan itu timbul justru tepat di hadapan anak bayinya, dan hal ini dinilai oleh sebagian kalangan anak mempengaruhi perkembangan otak si anak.
Pasca persalinan, bayi masih sangat rentan terhadap berbagai pengaruh fisik dan mental dari luar. Bahkan sebuah studi baru mengungkap jika orang tua bertengkar di depan bayinya maka hal ini akan mempengaruhi kinerja otak si bayi untuk memproses emosi dan stresnya.
Otak bayi sebenarnya bersifat plastik, artinya ia dapat berkembang sesuai lingkungan dan pengalaman yang dihadapinya atau beradaptasi sesuai dengan kebutuhan fungsionalnya. Tapi plastisitas ini juga dibarengi dengan sejumlah kerentanan.
Sejumlah riset telah menunjukkan bahwa stres parah seperti penganiayaan atau institusionalisasi dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap tumbuh-kembang anak.
“Kami pun tertarik untuk mengetahui apakah sumber stres ringan atau sedang yang seringkali dihadapi anak ketika di rumah, khususnya pertengkaran orangtuanya juga berpengaruh terhadap fungsi otak anak atau tidak,” terang peneliti Alice Graham dari University of Oregon.
Untuk menemukan jawabannya, Graham dan rekan-rekannya pun memutuskan melakukan scanning MRI terhadap 20 bayi. Ke-20 bayi yang berusia antara enam sampai 12 bulan diletakkan di dalam lab pada jam-jam tidur rutin mereka.
Ketika bayi-bayi ini terlelap, peneliti memapari mereka dengan suara seorang pria dewasa yang berbicara dengan nada sangat marah, tidak begitu marah, bahagia dan netral.
“Ternyata meski tertidur, bayi-bayi ini memperlihatkan pola aktivitas otak yang berbeda-beda, tergantung pada nada suara emosional yang kami berikan,” ungkap Graham.
Dari situ peneliti menemukan bahwa bayi-bayi yang berasal dari keluarga yang tingkat konfliknya tinggi atau orang tuanya sering bertengkar memperlihatkan reaksi yang lebih besar pada nada suara yang sangat marah di dalam otaknya, terutama di bagian otak yang berkaitan stres dan pengaturan emosi seperti anterior cingulate cortex, caudate, thalamus dan hypothalamus.
Kesimpulannya, studi ini menunjukkan bahwa bayi pun tahu jika orang tuanya tengah berkonflik, bahkan paparan konflik ini dapat mempengaruhi cara otak si bayi untuk memproses emosi dan stresnya sendiri. Dikhawatirkan kondisi ini akan mempengaruhi kondisi psikologis anak hingga menjelang dewasa. Maka sudah saatnya hindari bertengkar di depan bayi.