Scroll untuk baca artikel
Blog

Biar Indonesia Sehat, Jabatan Ketua Parpol Perlu Dibatasi

Redaksi
×

Biar Indonesia Sehat, Jabatan Ketua Parpol Perlu Dibatasi

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COAkhir abad 18 lalu, Lord Acton pernah berseloroh, “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti menyalahgunakannya.” Tak main-main, ucapan politikus berkebangsaan Inggris satu ini hingga kini masih bertuah.

Itulah sebabnya, dewasa ini, negara dengan sistem demokrasi memberi batasan dan pembagian kekuasaan untuk mencegah penyelewengan kekuasaan tersebut.

Di Indonesia, untungnya sistem kekuasaan telah dibagi menjadi tiga (trias politica), dan untuk masa kekuasaan eksekutif juga sudah dibatasi menjadi dua periode.

Namun, apakah pembatasan kekuasaan ini juga perlu diterapkan ke jabatan ketua partai politik?

Ternyata banyak dari ketua parpol yang telah menjabat lebih dari satu dekade atau dua periode. Hal ini tampak kentara bila kita mencuplik lima parpol pemeroleh suara terbanyak pada pemilu 2019 lalu.

Terbukti, empat di antaranya dijabat oleh ketua parpol yang sudah berkuasa lebih dari 2 periode. Bahkan, tiga dari keempat parpol tersebut, ketua umum atau pembinanya ajeg sejak parpol tersebut berdiri. Dan, masih ada parpol-parpol lain yang serupa.

Peran Partai Politik

Apabila memakai kerangka sistem politik yang dikenalkan oleh David Easton (1984), keberadaan parpol tak hanya niscaya dalam demokrasi tetapi keduanya juga berhubungan secara siklis. Dengan kedudukan pemerintah sebagai output dan parpol sebagai input.

Demi menjaga eksistensinya, parpol harus mampu mengelola hubungan timbal-balik dengan pemerintah, sebagaimana parpol menyalurkan sumber daya ke pemerintah, juga merespons feedback untuk kemudian menyalurkan sumber daya lagi. Itulah sebabnya, parpol akan memengaruhi pemerintah secara signifikan.

Sementara itu, Thomas Meyer dalam bukunya “Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis” menyebutkan bahwa peran parpol itu sendiri sentral (political centrality) dalam demokrasi. Hal itu dapat ditelusuri ke dalam dua dimensi, di antaranya:

Pertama, parpol mengagregasi bermacam-macam kepentingan serta nilai yang terdapat di masyarakat untuk ditransformasikan menjadi agenda parpol. Oleh karenanya, saat pemilu, agenda tersebut akan menjadi tawaran parpol kepada masyarakat untuk menggaet dukungan mereka.

Dengan begitu, melalui anggotanya yang terpilih di parlemen maupun eksekutif, parpol akan memengaruhi proses politik dalam legislasi dan implementasi program kebijakan publik.

Kedua, tak ada pihak selain parpol yang dapat memasukkan kepentingan dan nilai masyarakat ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Namun syaratnya, parpol mesti memiliki posisi yang kuat di parlemen untuk melakukannya.

Ketokohan dan Kekuasaan yang Mengakar

Amat disayangkan, klaim sebagai lembaga yang demokratis bahkan berkoar-koar memperjuangkan demokrasi, tapi justru di dalam internalnya luput dari nilai-nilai demokrasi.

Malahan, bagi sebagian besar parpol di Indonesia menjadikan ketokohan ketua parpol menjadi komoditi unggulannya. Fenomena ini telah dibaca oleh Marcus Mietzner yang dijelaskan dalam bukunya “Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia“, bahwa figur sentral dalam parpol itu variatif dan seringnya berdasar pada kekuasaan non-formal.

Kekuasaan non-formal itu dapat diperoleh dari beberapa hal, misalnya garis keturunan, karisma, popularitas elektoral, kekayaan, atau akses ke sumber daya pemerintah.

Di sisi lain, makin lama berkuasa maka akan terbuka kesempatan untuk terus menghimpun sumber daya. Itu sebabnya, kekuasaan tersebut akan makin mengakar dan bertambah kuat.