LARON-LARON beterbangan memburu cahaya, mengepak-kepakkan sayap pada lampu neon di depan rumah orang tua Sanu. Sanu suka karena Monica begitu senang menyaksikan gerombolan serangga bersayap di seputar cahaya putih. Bahkan di mata Sanu, perempuan bermata burung dara itu seperti bidadari berhujan-hujan laron. Tubuh tinggi padatnya seperti menari, saat menggeliat sambil mengebitkan laron kehilangan sayap.
Sambil menggelinjang perempuan kulit putih itu menyeru, bertanya bagaimana riwayat laron. Dan Sanu menyahut dengan berteriak pula, bahwa laron adalah binatang tanah yang bermetamorfosis. Tapi berbeda dengan kupu-kupu yang bersayap indah, laron mesti segera melepaskan sayap sederhananya untuk kembali ke tanah. Kembali ke habitat makhluk kecilnya, dan tugas lanjut merayapnya.
Selalu Sanu mengandaikan segala sesuatu atas diri mereka, dengan maksud merendahkan diri dan meninggikan teman dekatnya. Dia katakan Monica kupu-kupu, dan dirinya laron. Gadis itu tersenyum, menunjukkan suka hatinya pada sifat rendah hati seorang lelaki Indonesia. Senyumnya manis sekali. Semanis senyum bidadari, dalam impian pria Jawa yang menganggap seindah-indah kecantikan adalah makhluk dari surga.
Mereka telah sepekan tinggal, setelah beberapa hari di Jakarta. Setelah penerbangan Monica dari Rotterdam dan Sanu menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta. Wira-wiri di pusat-pusat metropolis Jakarta Monica tak habis mengeluh. “Panas,” katanya, “seperti di neraka!”
Sanu tertawa. “Ini Asia, bukan Eropa. Apalagi ini Jakarta….”
Monica pun menyindir. “Sepanas situasi politiknya?”
Saat itu Sanu terdiam. Monica tersenyum mafhum, seperti mulai memahami sifat teman chatting-nya. Semacam kepekaan seperti gelas antik, yang musti dijaga ketinggian nilainya: tidak boleh tersentuh sembarangan dan membuatnya retak, apalagi sampai terjatuh dan pecah. Meski pun berbicara soal politik, Sanu memiliki kepekaan tersendiri yang mudah tersinggung. Tak lain karena dalam satu e-mail-nya dia pernah menulis, tentang situasi politik di negeri ini bahkan di desanya yang mengorbankan kakaknya.
Bibir Monica seakan mengucap nama kakak Sanu, “Burna….”
Memafhumi hal itu, bagai meralat pernyataannya Monica sontak berkata, “Untuk apa aku terbang jauh, kalau yang aku jumpai sebuah kota sebagaimana kota-kota dunia?”
Sanu kontan mengusulkan mengajak Monica ke desa orang tuanya, sekitar lima jam bermobil dari Jakarta. Dan gadis yang fotonya dalam internet bergaya Britney Spears itu senang bukan main, bertemu bapak dan ibu Sanu. Terutama, hari-hari Monica menghabiskan waktunya di pawon, tempat memasak yang bukan sekadar dapur apalagi dalam bayangan gadis Eropa. Sebuah ruang luas dan tempat memasak dengan bahan kayu bakar. Asap membuat airmatanya berleleran, saat ia mencoba belajar meniup tungku menggunakan sepotong bambu.