Scroll untuk baca artikel
Blog

Bidadari dalam Cahaya Putih – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Bidadari dalam Cahaya Putih – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

LANTAI tanah dan genting menghitam di ruang berdinding papan kayu itu, membuat Monica suka duduk di bale bambu melihat keluar jendela yang terbuka. Dari luar sana angin pegunungan meniup, angin kumbang yang di malam hari seperti karpet tergelar. Angin kumbang yang membuat ketela pohon di pegunungan itu besar-besar dan dikirim ke Jawa Barat untuk dibuat peyem. Meniup ke timur laut, mengembangkan putih-putik bawang, dan menjernih-segarkan air tambak-tambak ikan.

Tercetus begitu saja gumam “Britney”, “Desa ini terlalu indah untuk dilupakan, seperti surga yang tak boleh setitik pun ternoda….”

Sanu tercenung.

Saat itu sosok laki-laki nongol sedada di jendela, seorang laki-laki yang memang bertelanjang dada bidang. Sesaat muka berambut kusut masai itu terdiam dengan pandangan kosong, membuat Monica meneleng-neleng. Seperti bertanya-tanya atau menduga-duga ia, melihat muka laki-laki itu seperti tersenyum tapi tampak menyeringai. Sesaat kemudian setelah laki-laki tinggi besar itu berkesiap pergi, pandangan “Spears” seakan mengajukan pertanyaan pada Sanu.

Bibir panah cupido memerah itu seperti mengucap tanya, “Burna?”

Dan Sanu seolah menganggukkan nama kakaknya.

Spontan Monica berujar, “Saya bisa menerapi.”

“Ahh…,” decah Sanu terpotong oleh sorot mata biru begitu meyakin.

Semacam ada cemas ragu, begitu saja lindap dalam hatinya. Meski akal sehatnya meyakini, betapapun teman jauh yang sekarang dekat itu adalah mahasiswa psikiater yang lulus cum laude dari perguruan tinggi tepercaya di Negeri Kincir Angin.

Tarian dalam cahaya neon di mata Sanu mengesani geliat baru, setelah seminggu ini Monica menerapi Burna. Gelinjang yang ditangkap mata Sanu sebagai semangat, bagai ulat setelah sekian lama melata kemudian bertapa sebagai kepompong, dan bermetamorfosis sebagai kupu-kupu. Betapa gadis kulit putih itu bagai seekor kupu-kupu, menikmati keindahan sayap-sayapnya.

Dan Sanu semakin merasa diri kunang-kunang, yang mesti mencari cahaya untuk melepaskan sayap-sayapnya. Meski kakaknya gila, tetap saja ia tetap menganggap Burna sebagai saingannya. Bukan hanya fisik yang membuat Sanu sering merasa kecil di hadapan kakaknya. Walau ia tak bisa menyalahkan darah turunnya, kakek moyang kolonialnya, sejak desanya dijadikan tempat peristirahatan bagi tentara penjajah. Dari darah itu Burna menuruni fisik tinggi besar membule bapak kepradah, meski wajahnya tetap menuruni kejelataan wajah ibu.

Sebaliknya Sanu menuruni tubuh imut ibu Jawa, dengan raut berwajah bule. Dan ia melihat, meski gila begitu serasi Burna berdampingan dengan Monica setiap pertemuan terapi di dapur itu. Betapa kakaknya tampak sehat-sehat saja setiap berbicara dengan dokter jiwa spesialnya. Meski sering terdengar ngawur, tapi kata-kata Burna masih mencerminkan pikirannya sebagai tokoh politik. Seperti yang diam-diam pernah didengarnya, dari balik jendela dapur yang selalu dibiarkan terbuka.