Scroll untuk baca artikel
Blog

Bidadari dalam Cahaya Putih – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Bidadari dalam Cahaya Putih – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Sanu menahan emosi saat Burna ngerjain Monica yang bertanya, “Apa ini?” sambil menunjukkan cabe rawit. Burna menjawab, cabe rawit dimakan bersama tahu asin akan menambah nikmat. Melihat cabe rawit berwarna merah yang mirip buah ceri Monica lantas berkata, dimakan bersama tahu asin saja nikmat apalagi dimakan melulu cabe rawit. Mendengar itu Burna justru mengangguk, dengan muka seperti menyimpan dendam. Dan Burna memang bersorak saat Monica menggigit cabe rawit merah.

Tentu saja Monica kepedasan luas biasa. Meski ia menutup-nutupi dengan berkata, bahwa di negerinya tidak ada pedas cabe rawit, yang ada pedas merica. Burna lalu menyahut, di zaman penjajahan cabe rawit sengaja disebarkan Belanda untuk meracuni para gerilya di hutan-hutan. “Nyatanya racun itu oleh bangsa ini dimakan bersama gorengan atau dibuat sambal!” cetus Burna sambil nyekakak.

Ya, Burna justru menertawakan melihat Monica bermerah muka dan tak habis mengeluarkan air mata. “Kamu makan racun yang dulu disebarkan bangsamu!” serunya dengan muka puas.

“Memang pedas,” decah Monica.

Dan ngawur Burna lagi, “Itulah posmo!” untuk mengatakan postmodern. “Meski, aku tahu, postmodern adalah bentukan masyarakat global yang tidak mampu menentukan arah hidupnya. Sebab ideologi-ideologi besar dunia telah bunuh diri. Liberalisme, kapitalisme, komunisme, telah mampus. Dan kini yang ada ideologi tunggal Amerika.”

Dalam pikiran Monica mungkin rumit mengaitkan pedas cabe rawit dengan postmodernism. Atau ia tidak ingin membawa Burna ke ranah politik yang telah memurukkan hidupnya. Toh Burna sendiri yang mencetuskan pertanyaan, “Mungkin kau akan bertanya, bagaimana pengaruhnya di negeri ini?” tegasnya, “perang keyakinan, klaim kebenaran atas nama ajaran. Isu saling memprovokasi. Itu semua yang melunturkan negeri yang mencintai kebersamaan dan bangsa yang setia pada keberagaman. Bhineka Tunggal Ika sedang terancam!”

Mukanya tampak mengeras. Tubuhnya yang besar gemetar.

Mengintip itu Sanu bersiaga untuk menjaga kemungkinan lebih buruk yang menimpa Monica, tapi gadis bermata merpati itu tampak tenang-tenang saja.

SETENANG itu saat ia menyampaikan hasil terapi kepadanya, bahwa ia memang harus bersikap kalah di hadapan Burna. Kalau perlu tampak teraniaya. Dan musti diam mengalah, saat pasien istimewanya itu menghujatkan pikiran-pikiran politiknya. Untuk itu Sanu menimbang-nimbang kata “teraniaya”, selalu dengan perasaan cemas ragu yang entah kenapa selalu hadir setiap ia memikirkan gadis Belanda itu.

Perasaan yang ternyata berbeda saat ia membandingkan dengan kecemasan terhadap kasus kakaknya. Terutama karena dikabarkan, pihak KPK mulai mencium bahwa kegilaan Burna adalah trik politik untuk menutup-nutupi kasus yang sebenarnya. Dan yang dicemaskan Sanu ialah, cara apalagi yang akan dilakukan Burna. Setelah kekalahan pilkada yang membuatnya gila, dan kasus illegal logging yang sedang diselidiki Komite Pemberantasan Korupsi.