Kedua, synchronization royalty yakni royalti yang diberikan pencipta atau pemilik master rekaman ketika lagunya disinkronkan dengan gambar, misalnya lagu dimasukkan ke sinetron, film, televisi, iklan, bahkan YouTube.
YouTube masuk ke dalam kategori royalti ini, karena ada gambar yang disinkronkan dengan audio.
“Setiap ada project itu gue dibayar sekian rupiah. Angkanya bukan multiply tapi fee putus. Masih gue lakukan,” tutur mantan personil band Jikustik ini.
Ketiga, performing royalty yakni royalti yang diberikan ketika sebuah lagu disiarkan ke publik, baik itu di tempat hiburan, televisi, radio, dan sebagainya. Royalti inilah yang saat ini dipeributkan karena tercantum dalam PP Nomor 56 Tahun 2021.
Pongki mengaku mendapatkan royalti jenis ini sebanyak tiga kali setiap tahunnya. Yang melakukan mekanisme royalti ini adalah Wahana Musik Indonesia (Wami).
Ada banyak manajemen kolektif pengelola royalti lagu lainnya seperti Karya Cipta Indonesia (KCI, Royalti Anugerah Indonesia (RAI), dan lain-lain. Namun sejak 2009, Pongki memutuskan memberi kuasa atas lagu-lagunya kepada Wami.
“Peraturannya sudah ada, kenapa dipeributkan?” tanya Pongki.
Padahal yang seharusnya disorot adalah pasal dalam PP tersebut yang meminta lembaga manajemen kolektif untuk membuat pusat data lagu, selambat-lambatnya dua tahun sejak sekarang.
Pusat data lagu dan Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM) akan menjadi dasar bagi musikus, agar karyanya tercatat dan diakui, sehingga dapat digunakan user secara legal. “Gue mau pakai ini dan bayar sekian,” katanya.
Saat ditanya mengenai pencipta lagu dangdut yang sekarang menjadi pemulung, Pongky menjawab ada kemungkinan komposer tersebut tidak terinformasi performing copyright. Dia tidak menjadi anggota di salah satu lembaga manajemen kolektif.
Pongki menekankan kepada semua musikus untuk mendaftarkan karya-karyanya ke LMKN, sehingga bisa dicatat dan mendapatkan royalti.
Ia menambahkan pencipta lagu sudah sepatutnya mendapatkan royalti. Karya musik ada karena satu orang yang membuat lagu. Selama ini dalam suatu acara, semua orang mendapatkan royalti. Bahkan dalam acara pernikahan, baik pihak wedding organizer, pemain band, hingga tukang sapu dapat keuntungan. Sementara pencipta lagu tidak mendapatkan apa-apa. “Makanya ini loh yang dipikirkan pemerintah,” pungkasnya.
Baik Anji maupun Pongki berpendapat PP Nomor 56 Tahun 2021 ini sebaiknya tidak dipermasalahkan lagi, karena sudah diterapkan sejak dulu. Dan yang lebih penting lagi adalah PP ini dibuat dalam rangka membela hak-hak komposer. []