BARISAN.CO – Beberapa pegiat radio bereaksi negatif atas terbitnya PP royalti musik. Kebijakan yang diteken Presiden Jokowi 30 Maret lalu ini, dinilai akan memberatkan bisnis radio, terutama sebab kemunculannya persis di tengah badai pandemi yang belum berakhir.
Salah satu poin perhatian pegiat radio adalah Pasal 3 ayat 1, yang berbunyi: “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).”
Penggunaan musik secara komersial yang dimaksud ialah meliputi badan usaha seperti kafe, radio,televisi, pertokoan, pusat rekreasi, hingga tempat karaoke.
Keberatan pegiat radio cukup beralasan. Apalagi pada lazimnya, justru radio memainkan peran untuk ikut mempromosikan musik dan lagu para artis. Musikus butuh radio, sebagaimana terdapat sejumlah besar musikus yang rela membayar radio-radio ternama agar mau memutar lagu-lagu mereka.
Di sisi lain, upaya pemerintah menciptakan iklim penghargaan terhadap karya ‘tak benda’ tentu saja patut dimengerti. Sudah lama musikus babak belur karena lagu-lagunya tidak menguntungkan secara komersial. Mereka berkarya, berharap karya tersebut laku terjual, tapi kemudian mereka rugi sebab terlalu banyak faktor yang membuat karya mereka tidak dihargai.
Titik Impas Radio dan Musikus
Radio hidup karena memutar musik. Banyak orang masih mendengar radio di mobilnya sendiri-sendiri. Bagaimanapun, musik dan radio pada akhirnya selalu punya hubungan yang saling terikat. Dan ikatan dalam bentuk royalti sekalipun sebetulnya bukan hal baru. Itu seperti disampaikan Sekretaris umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M Rafiq, dalam sebuah webinar.
“[Royalti] bukan hal baru untuk industri radio. Apalagi sejak puluhan tahun yang lalu radio itu rutin membayar royalti melalui lembaga Karya Cipta Indonesia (KCI). Nah, sekarang yang menagih royalti itu ada LMKN. Nah penagihan satu pintu ini sebenarnya didukung oleh industri radio, karena cuma satu pintu yang tagih,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring dengan tema ‘Royalti Bikin Sensi’, Rabu (7/4).
Rafiq menyebut, justru ada beberapa hal positif yang disambut industri radio terkait diterbitkannya PP No 56 Tahun 2021 tersebut. Pertama, kehadiran satu lembaga yang memungut royalti. Kedua, yakni ada jaminan bahwa setelah royalti dikumpulkan akan didistribusikan kepada para pemegang hak cipta.
“Perhatian kami yang selanjutnya adalah tarif royalti itu harus adil, patut, dan sepantasnya,” katanya.
Beleid anyar yang diteken Jokowi ini tentu saja masih perlu diperinci kembali. Misalnya, perlu dicari formula yang tepat terkait bagaimana LMKN menagih royalti kepada pengguna komersil. Katakanlah jangan sampai ditemukan tumpang tindih penagihan atau segala sesuatu yang terjadi di luar ketentuan hukum yang berlaku.
Rafiq menyarankan agar pembayaran tarif royalti sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sistem sekali bayar per tahun dengan besaran jumlah yang tetap (lump sum). Rafiq beralasan, pembayaran tarif royalti musik dengan skema persentase cukup memberatkan pelaku usaha radio, sebab biaya audit dari pendapatan yang didapat ditanggung oleh para pelaku usaha radio.
“Nah sekarang sih kita akan mengusulkan kepada pemerintah kepada LMKN, boleh enggak nih radio komersial ini lump sum aja, supaya radio tidak terbebani biaya audit,” tutur Rafiq. []
Penulis: Ananta Damarjati