Scroll untuk baca artikel
Fokus

Bisakah PP Royalti Musik Tidak Menguap Hampa?

Redaksi
×

Bisakah PP Royalti Musik Tidak Menguap Hampa?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 menuai polemik. PP ini mengatur pengelolaan royalti hak cipta lagu atau musik yang dinilai merugikan masyarakat. Padahal PP ini telah berjalan sejak tujuh tahun lalu.

Musikus Anji menjelaskan PP Nomor 56 Tahun 2021 sebenarnya merespons Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Seharusnya PP tersebut sudah dibuat maksimal dua tahun setelah UU selesai disusun.

“Harusnya tahun 2016 sudah jadi PP ini, tapi lambat,” ujar Anji dalam acara podcast terbarunya di kanal YouTube Dunia Manji, Jum’at (9/4/2021).

Selama ini, lanjut Anji, penarikan royalti sudah dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Artinya royalti hak cipta lagu sudah dilakukan selama tujuh tahun, namun baru tahun ini ditetapkan secara resmi oleh negara.

Penetapan PP tersebut sudah sangat dinanti-nanti oleh para musikus. Anji bersama beberapa musikus lainnya seperti Badai dan Pongki Barata telah menyuarakannya sejak dulu.

“Jadi sebenarnya ini angin segar bagi dunia musik, khususnya komposer,” kata Anji.

Anji menilai telah terjadi miskonsepsi pada masyarakat. Mereka berpikir dengan PP tersebut mereka harus membayar royalti kala memutar lagu baik secara luring maupun daring, misalnya di Spotify.

“Mentang-mentang pandemi apa-apa diduitin. Gue kan sudah bayar, kenapa ditarikin lagi? Itu salah,” ucap Anji.

Sebab, penarikan royalti hanya diperuntukkan bagi penggunaan lagu secara komersial bukan pribadi. Contohnya adalah penggunaan lagu pada iklan, sinetron, konser, hotel dan kafe.

Senada dengan Anji, musikus dan komposer Pongki Barata mengatakan penarikan royalti terhadap penggunaan lagu di kafe dan hotel sudah dilakukan sejak dulu.

Ia sendiri memiliki bisnis rumah makan, yang setiap bulannya harus membayar royalti lagu. Tapi tidak sebesar biaya listrik, pegawai, bahan makanan dan gadget.

“Hanya 700 ribu saja,” ungkap Pongki.

Menurut Pongki membayar royalti hanya sebuah apresiasi kecil bagi musikus. Tidak seperti yang dibayangkan masyarakat hingga jutaan rupiah.

Pongki juga menjelaskan tentang jenis-jenis royalti yang sudah dilakukan selama ini. Pertama, mechanical royalty yakni royalti yang didapat ketika menjual kepingan Compact Disk (CD).

Saat ini CD sudah tidak ada dan digantikan dengan YouTube, Spotify, dan sebagainya. Royalti dari jumlah keping CD diganti dengan streaming atau viewers.

Gue mendapatkan royalti dari Spotify, streaming dan YouTube. Itu mechanical gue sekarang. Masih gue terima dan sudah berjalan,” katanya dalam wawancara podcast di kanal YouTube VokalPlus, Jum’at (9/4/2021).

Kedua, synchronization royalty yakni royalti yang diberikan pencipta atau pemilik master rekaman ketika lagunya disinkronkan dengan gambar, misalnya lagu dimasukkan ke sinetron, film, televisi, iklan, bahkan YouTube.

YouTube masuk ke dalam kategori royalti ini, karena ada gambar yang disinkronkan dengan audio.

“Setiap ada project itu gue dibayar sekian rupiah. Angkanya bukan multiply tapi fee putus. Masih gue lakukan,” tutur mantan personil band Jikustik ini.

Ketiga, performing royalty yakni royalti yang diberikan ketika sebuah lagu disiarkan ke publik, baik itu di tempat hiburan, televisi, radio, dan sebagainya. Royalti inilah yang saat ini dipeributkan karena tercantum dalam PP Nomor 56 Tahun 2021.

Pongki mengaku mendapatkan royalti jenis ini sebanyak tiga kali setiap tahunnya. Yang melakukan mekanisme royalti ini adalah Wahana Musik Indonesia (Wami).

Ada banyak manajemen kolektif pengelola royalti lagu lainnya seperti Karya Cipta Indonesia (KCI, Royalti Anugerah Indonesia (RAI), dan lain-lain. Namun sejak 2009, Pongki memutuskan memberi kuasa atas lagu-lagunya kepada Wami.