KUNTOWIJOYO tegas menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang gelisah sepanjang mengenai perbedaan ekonomi: kemiskinan dan kesenjangan. Kemiskinan, oleh Al-Quran disebut dhu’afa, memang berbeda secara natural. Bahwa orang-orang yang dilahirkan di kota berbeda dengan yang lahir di desa. Bahwa yang lahir di pulau terpencil berbeda dengan yang lahir di tengah kota Jakarta. Bahwa anak pedagang berbeda dengan anak PNS.
Sedangkan kesenjangan, Al-Quran menyebutnya mustadh’afin, adalah kesenjangan struktural. Kalau kemiskinan, penanganannya diserahkan kepada masyarakat, maka kesenjangan menjadi tugas negara. Zakat sebagai sistem ekonomi masyarakat sanggup mengatasi kemiskinan, tapi tidak untuk kesenjangan. Bukan tugas zakat untuk mengatasi kesenjangan.
Negara sedianya menerbitkan kebijakan yang mengubah pemerataan menjadi perataan. Tidak sekadar mengalirkan kekayaan dari yang memiliki kepada yang tidak memiliki, tetapi memindahkan kekayaan itu. Sementara, sebagai kekuatan masyarakat, umat Islam harus bisa mengondisikan diri sebagai SDM unggul, tidak bisa tidak. Karena, dua kesenjangan tersebut, kesenjangan natural/kemiskinan dan kesenjangan struktural/kesenjangan, berkembang subur lebih oleh keterpurukan umat, kebodohan, kejumudan, dan kekonyolan yang terus dipelihara.
Sekali lagi SDM, karena lebih dari segalanya yang kurang dari umat Islam adalah SDM. Tanpa SDM yang memadai, dalam setiap perubahan, umat akan selalu berada di bawah, selalu dipinggirkan. Para cendekia muslim dalam berpikir politik, harus benar-benar berorientasi akan mengubah struktur, tidak sekadar mengganti personal.
Kemudian program tunggal umat Islam, apa pun bendera oraganisasi mereka, adalah peningkatan kualitas iman dan takwa, kualitas pikir, kualitas karya, kualitas kerja, dan kualitas hidup. Dari situ, satu-satunya yang dihindari umat ialah terlibat dalam politik praktis. Dalam berpolitik bersifat pragmatis, tidak praktis.
Bagaimanapun sejarah telah membuktikan, berpolitik praktis hanya akan menimbulkan banyak korban, tidak menyembuhkan derita umat. Kapital-kapital kecil umat akan tersedot pada pergantian personal politik, jelas sama sekali bukan struktur yang diperjuangkan. Pengangguran, kemiskinan, dan terlebih kesenjangan kian luas.
Umat harus benar-benar belajar sejarah, betapa kini bukan gerakan massa, melainkan gerakan intelektual, gerakan kesadaran. Tidak sekadar organisasi masyarakat yang bersifat massa, tetapi organisasi elitis macam LSM. Orientasi massa cukuplah dikerjakan oleh ormas macam NU dan Muhammadiyah. Yang kita perlukan dalam mewujudkan program tunggal adalah cerdas bersama umat, yang digarap para cendekia muslim yang bergabung bersama.
Seperti apakah itu? Kehadiran ICMI, dan dulu SI, bisa ditinjau kembali. SI sukses memobilisasi massa, ICMI berhasil memobilisasi ide. Tinggal kemudian ditandaskan bahwa bukanlah personal, melainkan struktur yang menjadi tujuan politik.
Begitu.