Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Bunga Utang Makin Mencekik

Redaksi
×

Bunga Utang Makin Mencekik

Sebarkan artikel ini
Awalil Rizky
Ekonom

Pembayaran bunga utang sebesar Rp405,87 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022 menciptakan rekor. Namun, rekor ini nyaris pasti dipecahkan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Posisi utang terus meningkat, seiring kebijakan penambahan utang yang masih sangat besar.

Untuk pertama kalinya, pembayaran bunga utang menjadi yang tertinggi kedua dari semua jenis belanja pemerintah pusat (BPP). Sesuai aturan perundang-undangan, BPP dirinci menjadi delapan jenis. Hanya belanja pegawai yang dialokasikan sebesar Rp426,77 triliun, yang tercatat lebih besar. Perlu diketahui, belanja pegawai ini tidak hanya untuk mereka yang masih aktif, melainkan mencakup yang telah pensiun.

Sementara itu, belanja barang dialokasikan sebesar Rp337,82 triliun. Jenis belanja untuk keperluan operasional membeli barang dan jasa habis pakai selama setahun. Termasuk di dalamnya untuk pemeliharaan barang, serta biaya perjalanan dan rapat.

Belanja modal dialokasikan sebesar Rp196,61 triliun. Jenis belanja untuk belanja barang yang umur pakainya lebih dari setahun. Termasuk untuk aset tetap seperti tanah, bangunan, jalan, bendungan dan kendaraan. Dalam hal sebagian aset tetap terkait proyek strategis nasional memang tidak hanya dibiayai dari belanja pemerintah pusat. Melainkan dari sebagian Transfer ke Daerah dan Dana Desa, pengeluaran investasi, dan kerja sama dengan swasta.

Belanja bunga utang juga jauh lebih besar dibanding empat jenis belanja lainnya. Yaitu: subsidi (Rp206,96 triliun), Bantuan Sosial (Rp146,52 triliun), Belanja Hibah (Rp4,82 triliun), dan Belanja Lain-Lain (Rp212,90 triliun).

Meski kurang lazim dan tak sepenuhnya kompatibel, namun nilai pembayaran bunga utang dapat diperbandingkan dengan anggaran secara tematik. Hampir mendekati nilai anggaran perlindungan sosial yang sebesar Rp427,5 triliun. Lebih banyak dari anggaran infrastruktur yang sebesar Rp384,8 triliun. Bahkan, jauh lebih banyak dari Anggaran kesehatan yang sebesar Rp255,3 triliun, serta anggaran ketahanan pangan yang sebesar Rp76,9 triliun.

Salah satu indikator yang diingatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengikuti standar internasional dalam pengelolaan utang pemerintah, yaitu berupa rasio bunga dengan pendapatan negara. Rasionya telah mencapai 19,06% pada tahun 2020. BPK menilainya melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang sebesar 4,6-6,8%, serta rekomendasi International Monetary Fund (IMF) sebesar 7-10%.

Rasio tidak berhasil diturunkan agar memenuhi peringatan BPK, justeru meningkat pada 2021 dan 2022. Berdasar prakiraan realisasi atau outlook pemerintah sendiri atas APBN 2021 yang masih berjalan, pembayaran bunga sebesar Rp363,23 triliun dan Pendapatan Negara sebesar Rp1.735,74 triliun. Rasionya sebesar 21,10% atau meningkat dibanding tahun 2020.

RAPBN 2022 mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp405,87 triliun, dan menargetkan pendapatan sebesar Rp1.840,66 triliun. Jika berhasil dipenuhi, maka rasionya akan meningkat menjadi 22,05%.

Ada rasio lain yang jarang menjadi wacana publik, yaitu rasio pembayaran bunga utang atas Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah sendiri telam lama memakainya sebagai salah satu indikator pengelolaan utangnya. Nota Keuangan biasa menyebut dan kadang disertai uraian. Rasio itu juga selalu disebut sebagai yang dimonitor dalam dokumen Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah (SPUNJM) dari Kementerian Keuangan.

SPUNJM yang berlaku saat ini adalah berdasar Keputusan Menteri Keuangan No.17/KMK.08/2020 tentang SPUNJM tahun 2020-2024. Disebutkan antara lain rasio pembayaran bunga terhadap PDB maksimal 1,9% (satu koma sembilan persen) hingga 2024.