Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Bunga Utang Makin Mencekik

Redaksi
×

Bunga Utang Makin Mencekik

Sebarkan artikel ini

Nota Keuangan dan RAPBN 2022 menyebut proyeksi rasionya hingga akhir tahun 2025 di kisaran 2%. Proyeksi serupa telah dikemukakan pada Nota Keuangan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai aturan, ada beberapa besaran dan indikator yang disajikan proyeksinya hingga tiga tahun setelah tahun anggaran bersangkutan.

Realisasi pembayaran bunga tahun 2020 sebesar Rp314 triliun, dan PDB nominal sebesar Rp15.434 triliun. Rasionya sebesar 2,04%. Telah melampaui SPUNJM, namun masih di kisaran target yang dimonitor oleh Nota Keuangan saat itu. Memang ada dampak pandemi dalam hal ini.

Terlepas dari soalan pandemi, telah terjadi peningkatan rasio yang signifikan pada periode 2015-2019, rata-rata sebesar 1,58%. Bahkan rasionya mencapai 1,75% pada tahun 2018, dan 1,74% pada tahun 2019. Padahal rata-rata rasio hanya sebesar 1,22% pada periode 2010-2014.

Nota keuangan dan APBN 2021 merencanakan pembayaran bunga sebesar Rp373,26 triliun. Sedangkan asumsi PDB nominal sebesar Rp17.655 triliun. Rasionya sebesar 2,11%. Saat ini, outlook pemerintah atas realisasi APBN 2021 menurunkan pembayaran bunga hingga menjadi Rp362,23 triliun. Namun asumsi PDB nominalnya juga turun menjadi Rp16.520 triliun. Dengan demikian, rasionya justeru meningkat menjadi 2,22%.

RAPBN 2022 merencanakan pembayaran bunga utang sebesar Rp405,87 triliun, sedangkan asumsi PDB nominal sebesar Rp17.897 triliun. Dengan demikian, rasionya kembali meningkat menjadi 2,27%. Nota Keuangan memang tidak memberi target rasio untuk tahun 2022, hanya menyebut akan di kisaran 2,0% hingga tahun 2025. Dalam konteks besaran rasio ini, selisih sebesar 0,27% itu jelas tidak terbilang kisaran.

Dalam hal tingkat bunga riil secara keseluruhan memang sedikit menurun. Besarannya dihitung dari nilai pembayaran bunga utang dibanding posisi utang rata-rata pada tahun bersangkutan. Tingkat bunga riil pada tahun 2020 sebesar 5,78%. Lebih rendah dari tahun 2018 (6,10%) dan 2019 (5,96%). Dan kemungkinan masih terjaga tidak meningkat signifikan pada tahun 2021 dan 2022.

Hal itu cukup terbantu oleh berbagai skema berbagi beban dengan pihak Bank Indonesia, serta diperbolehkannya BI masuk dalam pasar perdana SBN. Ada sebagian SBN yang nyaris tidak perlu bayar bunga, atau hanya dengan tingkat tertentu, serta skema keringanan lainnya.

Khusus untuk obligasi negara bertenor 10 tahun, yield SBN Indonesia masih lebih tinggi dari banyak negara lain. Publikasi rutin dua mingguan DJPPR Kementerian Keuangan antara lain menyajikan perbandingannya dengan 9 negara lain. Indonesia selalu lebih tinggi. Publikasi terkini menyebut data hingga 18 Agustus 2021, yield Indonesia sebesar 6,32%. Disajikan pula data negara lain: Malaysia (3,23%), Philipina (3,99%), Singapura (1,4%), Thailand (1,53%), dan Vietnam (2,12%).

Penulis berpandangan soalan pembayaran bunga utang ini telah memasuki kondisi yang butuh perhatian khusus dari Pemerintah. Diperlukan strategi dan taktik berjangka pendek, menengah dan panjang. Nilainya telah sangat membebani APBN tiap tahun. Berdampak pada berkurangnya alokasi dana yang dibutuhkan untuk pelayanan publik yang lebih baik. [dmr]