Bertahun-tahun mengadu nasib ke Arab Saudi, Bustan kembali ke kampung halaman meneruskan tradisi berjualan di Pasar Terapung Banjarmasin.
BARISAN.CO – Banjarmasin terkenal dengan sebutan seribu sungai. Dengan banyaknya sungai yang membentang, pasar terapung pun menjadi ikon kota ini.
Awal mulanya, keberadaan Pasar Terapung di Kalimantan Selatan karena geografis alam yang memiliki banyak sungai. Dalam jurnal berjudul, “Sejarah Pasar Terapung di Kalimantan Selatan” disebutkan, berdagang merupakan pekerjaan turun temurun dari generasi ke generasi.
Salah satunya adalah Hajah Bustan. Ketua DPD Jarnas Acil Jukung itu mengaku, profesi pedagang sudah diturunkan sejak dari kakeknya.
Kakeknya meninggal di usia 120 tahun. Pernah mengalami penjajahan Belanda, kakeknya pun mengisahkan pengalaman itu kepadanya.
“Kakek sempat cerita waktu jadi kepala desa, di kampung aku ini kan ada Belanda. Dia ke Banjarmasin sama nenekku jualan sembako, di dayung saja ke Banjarmasin,” kata Bustan pada Kamis (22/12/2022).
Menurut pengakuannya, saat zaman kakeknya dulu, belum ada kapal seperti sekarang. Sebelum menjadi tempat wisata, pasar terapung tidak lebih hanya tempat bertemunya para pedagang dan pembeli.
Dia menceritakan, saat ini, yang berjualan dan menunggu tamu dari luar mungkin ada 100 orang.
“Ada lagi yang berjualan biasa antara penjual sama pembeli jadi satu. Dari satu kecamatan ada yang jual dan beli,” katanya.
Rumahnya tak jauh dari Pasar Terapung Lok Baintan. Sehingga, dia pergi berjualan hasil kebunnya ke sana cukup menggunakan perahu. Setelah menjual hasil kebun, dia menununggu tamu. Dan, setelah pulang ke rumah, dia berjualan kembali. Di rumahnya, dia memiliki warung sembako.
Bustan adalah sosok perempuan pekerja keras. Sebelum seperti sekarang, dia nekat pergi ke Arab Saudi untuk mengadu nasib.
Bustan jauh-jauh ke Arab Saudi untuk mencari modal untuk membeli tanah agar bisa berkebun seperti sekarang.
“Dulu, aku ga punya apa-apa. Punya tanah sedikit, jadi penghasilannya sedikit juga,” ujarnya lirih.
Dengan pendapatannya itu, Bustan paham betul, itu tidak akan cukup untuk biaya keluarganya.
Dia pun izin ke suaminya untuk berangkat. Saat itu, dia bersama kedua sepupunya pergi dari hasil utang.
“Karena dulu ga ada kerja bangunan, suamiku ga punya kerjaan, penghasilan ga ada dari tanah. Jadi, aku bismillah nekat aja ke Saudi jadi pembantu,” ungkapnya.
Bustan besyukur karena utangnya lunas, namun dia ditangkap pihak imigrasi dan dipulangkan ke tanah air. Merasa kehidupannya belum membaik, sebulan kemudian, dia berutang untuk berangkat ke Arab untuk kedua kalinya.
Namun, kepergiannya yang kedua kali itu, Bustan berhasil mengumpulkan uang untuk membeli tanah, sawah, dan memperbaiki rumahnya yang reyot.
“Aku bisa naikkin suamiku naik haji. Dia pulang duluan setelah haji ke kampung, terus ga lama, aku disuruh pulang suamiku bawa sedikit uang,” jelasnya sumringah.
Sembilan tahun lalu, Bustan kembali ke kampung halamannya. Dia memutuskan untuk berjualan lagi di Pasar Terapung. Tanah yang dibelinya dari hasil bekerja di Arab ditanami rambutan, pisang, dan lain-lain. Setelah panen, dia membawanya untuk dijual ke pasar.
Kini, anaknya yang pertama telah menikah dan memiliki dua orang anak. Sementara, anaknya yang kedua berusia 8 tahun.