Oleh: Anthony Budiawan*
Barisan.co – Sedih dan pilu nasib rakyat Indonesia. Kebijakan ekonomi berdasarkan coba-coba tanpa kajian menyeluruh dan masuk akal. Kebijakan coba-coba ini hanya berdasarkan intuisi. Yang ternyata salah arah. Atau memang tujuannya mau menguntungkan pihak tertentu saja?
Target pertumbuhan ekonomi 2015-2019 dipatok 7 persen. Realisasinya jauh di bawah itu. Pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 4,9 persen.
Pemerintah kelihatan bingung. Kebijakan coba-coba mulai dijalankan. Sejak 2015 pemerintah mulai menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Tidak hanya satu kebijakan, tetapi berjilid-jilid. Puncaknya 16 November 2018, pemerintah menerbitkan PKE jilid XVI yang sangat absurd dan akhirnya harus direvisi atau dibatalkan.
PKE intinya kebijakan insentif perpajakan untuk menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi, hasilnya nihil. Pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata hanya 5 persen per tahun. Lebih rendah dari dua periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan rata-rata 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun.
Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty (TA) yang berlaku Juli 2016 hingga Maret 2017. TA memberi janji angin surga. Janji manis ditebar pemerintah dan pengikut intelektualnya. Serta pengikut yang aktif di medsos. Propagandanya sangat militan. Sampai mengancam bagi yang tidak ikut TA.
Janji manis TA sebagai berikut. Pertama, TA akan membawa kembali uang penduduk Indonesia yang disimpan di luar negeri. Nilainya fantastis, Rp4.000 triliun bahkan sampai Rp11.000 triliun. Kedua, TA akan membuat pertumbuhan ekonomi meroket. Ketiga, TA membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB naik drastis, dari 11 persen menjadi 14,6 persen pada 2019.
Janji TA ternyata tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5 persen per tahun pada 2015-2019. Rasio penerimaan pajak 2019 malah turun menjadi 9,8 persen. Uang yang masuk (repatriasi) dari luar negeri hanya Rp146 ,6 triliun. Jauh di bawah nilai propaganda.
Yang menjadi “korban” TA malah penduduk di dalam negeri. Nilai harta dalam negeri yang dilaporkan Rp3.633,1 triliun. Padahal banyak harta ini diperoleh dari hasil kerja yang sudah bayar pajak. Tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan yang memang sebelum tahun 2008 tidak diwajibkan untuk itu. Sedangkan harta luar negeri yang dilaporkan terkait TA hanya Rp1.180 triliun, jauh di bawah nilai propaganda.
Kebijakan PKE dan TA dapat dikatakan gagal. Tetapi, pelaku penggelapan pajak sudah terbebas dari ancaman pidana penggelapan pajak. Pemerintah, dan DPR yang menyetujui TA, juga aman-aman saja. Juga bebas dari segala konsekuensi akibat kegagalan dalam mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas dan menguntungkan segelintir orang saja.
Karena tidak sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok dengan UU “palsu”. Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggung jawabannya tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buruknya nasib rakyat Indonesia sekarang ini.
Setelah TA, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik. RUU Cipta Kerja yang diumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35 investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup.