Dalam cerita pewayangan, kondisi politik orde baru itu digambarkan dalam cerita (-tutur) berdasar kisah Ramayana atau kakawin Arjuna Wiwaha. Ialah kisah saat satu kerajaan besar mengadakan sayembara, untuk memperoleh Puteri kerajaan bernama Suk(s)esi. Para calon penyunting putri sexy cantik jelita itu harus mengalahkan Arya Jambumangli, seorang senopati yang memiliki kekuatan besar dan kesaktian tinggi. Adalah seorang raja kecil, Danaraja, yang sejak mula terpesona dengan keindahan betis sang putri jelita. Karena merasa tidak mempunyai kekuatan, ia pun meminta kepada ayahnya yang sakti mandraguna, Wisrawa.
Wisrawa berhasil mengalahkan Jambumangli, bahkan menyirnakan kebesaran tubuhnya. Kedua tangan sang Arya dipotong, kedua kaki dipenggal, dan kepalanya pun ditebas. Alkisah, kepala sang Arya berujar sebelum tamat: wahai Wisrawa, engkau akan mengalami nasib sama, anak turunmu akan kehilangan sifat manusia. Dasar manusia yang menyimpan sifat angkara, justru Wisrawa yang mau menyunting sang Dewi. Sukesi bersedia disunting, asalkan Wisrawa bisa mewedar risalah hidup, Sastrajenda: hayuningrat pangruwating diyu lebur ing pangastuti.
Wisrawa mewedar risalah itu dalam perkawinannya dengan Sukesi. Dari perkawinan galib itu lahirlah Rahwana Dasamuka, Kumbakarna, Permoni, yang kesemua berujud dan bersifat denawa atau rasaksa/raseksi. Ada satu yang tampan dan bijaksana, Gunawan Wibisana, tapi si manusia ini justru ada di pihak lawan, Rama. Kekuasaan Rahwana tak terkira/terbilang, tapi ia terhukum nasib antara hidup dan mati, terjepit dua bukit.
Estektika mulur mungkret
Ada banyak cerita tutur di daerah seputar (Gunung) Muria; Kudus, Pati, Jepara. Yakni, cerita tutur, bahkan cerita tutur yang berisi kritik menggelitik. Antaralain, kisah Ki Ageng Sela menangkap petir. Dikisahkan, kala Sunan Kudus mengumpulkan para ulama, untuk membicarakan kekuasaan/suksesi, Sela tidak diperkenankan masuk pasewakan. Ujar Sunan: biarlah kita lihat apa yang bakal terjadi.
Di alun-alun, saat hujan disertai petir itulah, Ki Sela menunjukkan kedigdayaannya menangkap petir. Peristiwa yang terkisahkan ini sebenarnya tafsir Sela terhadap ujaran sang Sunan: to be or not to be, yang terjadi terjadilah. Lanjut, dalam mitologi kelapa hijau, Ki Ageng lah yang menurunkan raja-raja Jawa Mataram Islam. Bahwa ada kritik, dan musti ada tafsir terhadap cerita tutur dalam dunia berpikir secara analogis. Satu cara berpikir, yang berbeda antara dunia modern sekarang, dan jagad budaya di jaman raja/kerajaan hingga sunan/kasunanan.
Termasuk kisah tentang Sunan Kedu berguru kepada Sunan Kudus, yang tafsir inovasinya, cerita inilah mula buka Kudus sebagai kota kretek. Demikianlah, dalam buku cerita tutur ini, ada beragam kisah yang membutuhkan tafsir. Mengapa tafsir ini penting, sebab alam pikiran modern dan berpikir budaya mempunyai perbedaan instringtif. Lagi-lagi disebabkan oleh politik orde baru, yang mengubah dasar politik kebudayaan menjadi landasan politik ekonomi. Kala dasar pikiran kita diskala politik ekonomi yang berujung pada kapitalis-liberalisme, maka berubahlah pola pikir kita.