BARISAN.CO – Dulu, waktu saya masih kecil, suka membayangkan betapa asyik bisa berkomunikasi jarak jauh macam di film Star Trek. Berhadap-hadapan langsung di layar, saling canda, saling debat. Namun, saat itu akal sehat saya masih tegas mengatakan: tidak mungkin, itu hanya ada dalam khayalan dunia fiksi, bukan dunia nyata.
Tahun 2000-an menjadi era perkembangan handphone di Indonesia. Orang tidak lagi terpancang kepada telepon kabel. Dan, ingatan saya kepada Star Trek pun menguat. Bahwa suatu waktu kita tidak akan lagi terpaku oleh jarak dalam berkomunikasi. Bisa saling bertatap muka satu sama lain, sebagaimana di alam nyata. Memang, telepon genggam waktu itu masih terbatas suara.
Baru kemudian, kalau saya tidak salah hitung, mulai tahun 2007 hingga 2013, era ponsel layar sentuh lahir. Perusahaan-perusahaan IT seakan berlomba mengeluarkan produk terbaiknya, dan kita kebanjiran merk ponsel.
Lantas, dunia maya mengemuka, suatu identitas publik baru, sebuah ruang komunikasi virtual. Meski, sebetulnya tidak tepat kalau dikatakan “maya”, karena toh nyata-nyata “nyata”, nyata di ranah fisika bukan alam metafisika.
Semenjak itu, praktis kehidupan sehari-hari kita lebih banyak atau sering berlangsung di wilayah media sosial. Perluasan pergaulan, jaringan, tak terelakkan. Menerobos ke segala penjuru tanpa batas, tanpa jeda. Tradisi digital telah menggantikan tradisi lisan.
Dan, terjadilah hari ini, tepatnya mulai Maret 2020, kita berbondong-bondong pindah dari ruang fisik ke ruang zoom. Pekerjaan, pesta, dan ibadat, bermigrasi ke ruang virtual. Hal yang dulu, semasa saya kecil, hanya tampak di layar film Star Trek sebagai science fiction, kini kita semua mengalami: berbincang, berdiskusi, berdebat, dan pesta ide dengan banyak orang di depan layar.
Ruang layar telah menggantikan halaman rumah, masjid, dan fasilitas umum lainnya. Pandemi COVID-19 telah mempercepat revolusi digital itu. Pandemi telah berhasil memaksa kita untuk tidak bersentuhan fisik, tidak saling bersalaman tangan, apalagi berciuman muka. Interaksi antar kita yang semula intim secara fisik, kini berjarak.
Dengan demikian, pengalihan ruang merupakan niscaya, tidak bisa tidak. imajinasi Star Trek, yang pertama tayang tahun 1966, saat ini benar-benar mewujud. Kita mengalaminya. Terus, berkah atau bencanakah virus korona itu?
Nah, saat sendiri merenung situasi kalut akibat pandemi ini, di mana kanan kiri tetangga bertumbangan mengisolasi di rumah masing-masing, tebersit soal pola interaksi di kehidupan Jawa. Saya merasa, ada yang salah dari pola interaksi kita selama ini, terutama menyangkut keserasian alam.
Dalam jagat Jawa tradisional terdapat hubungan harmoni antara alam, manusia, dan Tuhan. Dengan catatan, Tuhan di sini adalah roh adikodrati, kekuatan yang berkuasa atas diri manusia dan alam. Ketiganya terjalin interaksi yang menyatu akrab.
Lagi-lagi dulu, karena saya hidup di perkampungan desa yang masih sangat udik, saya masih mengalami kehidupan masyarakat yang selaras dengan irama alam. Masyarakat yang seirama dengan siang dan malam, musim hujan dan musim kering, saat menanam dan kemudian memanen.
Masyarakat memahami benar adanya kekuatan alam seperti sinar matahari, hujan, angin, dan hama. Berasa sekali, ada keteraturan dan kesatuan manusia dengan alam.
Waktu itu, saya masih menyaksikan, saat penanaman padi dikerjakan secara gotong royong. Saling kerja sama sosial. Pun saat memanen. Di antara itu, antara musim tanam dan musim panen, ada acara slametan, yakni ritus doa, plus makan, bersama dalam rangka memperoleh keselamatan dari amukan alam. Atau lebih tepatnya, membangun hubungan intim dengan alam beserta kekuatan yang hadir di baliknya.