Scroll untuk baca artikel
Fokus

Curah Hujan Hanya Kambing Hitam Alih Fungsi Lahan

Redaksi
×

Curah Hujan Hanya Kambing Hitam Alih Fungsi Lahan

Sebarkan artikel ini

“Kalau musim hujan, banjir, musim kemarau kebakaran. Ya gimana nggak. Udah darurat ruang, konflik agraria masif, kemudian bencana ekologis, seperti banjir dan karhutla,” tambahnya.

Menurut dia, tutupan lahan di Kalsel sudah hancur terbagi ke berbagai peruntukan dari tambang batubara, perkebunan sawit, perkebunan kayu, maupun HPH. “Belum illegal logging. Di hulu di rusak, di gunung rusak.”

Lebih rinci Walhi Kalsel mencatat, dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, 581.188 hektar merupakan hutan sekunder, hanya 89.169 hektar hutan primer. Selebihnya, didominasi konsesi. Seluas 234.492,77 hektar untuk HPH, 567.865,51 hektar buat HTI, 1.219.461,21 hektar izin tambang, dan 620.081,90 hektar untuk kebun sawit.

“Di bawah dilubangi tambang, di resapan, di ekosistem rawa gambut, izin sawit. Lalu bikin kanal-kanal, akhirnya kering. Maka restorasi gambut sekat kanal, dibasahi, untuk menyerap air. Oleh sawit kan dikeringkan, ditanggul, air nggak masuk kebun sawit. Berapa juta kubik air nggak masuk ke ribuan izin sawit tadi?! Karena kalau itu masuk, tenggelam sawitnya!” terang Kisworo.

Hal senada juga diungkapkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar, menduga banjir Kalimantan Selatan terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi tambang dan sawit.

“Akibat tata guna lahan yang amburadul,” katanya.

Lewat akun twitter resmi @jatamnas, Jatam menyampaikan luas Kalsel saat ini mencapai 3,7 juta hektare. Mayoritas atau 70 persen di antaranya atau 2,6 juta hektare lahan itu telah beralih menjadi area industri ekstraktif.

Foto banjir Kalsel: Twitter/@Jatamnas.

Rinciannya yaitu luas izin tambang 1,2 juta hektare dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam 234 ribu hektare. Kemudian, IUPHHK-Hutan Tanaman 567 ribu hectare, dan Hak Guna Usaha (HGU) 620 ribu hektare.

Mudahnya perizinan disinyalir membuat alih fungsi lahan terus terjadi. Di bidang pertambangan saja misalnya, pemerintah pusat dan daerah memiliki berbagai regulasi, mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Jatam mencatat ada beberapa perusahaan tambang yang berdiri di daerah lokasi banjir. Sejumlah nama besar perusahaan itu adalah PT Adaro Indonesia milik Adaro Energy Tbk, hingga PT Arutmin Indonesia, milik PT Bumi Resources Tbk.

Salah satunya, Jatam menyinggung Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar, serta paling banyak memiliki titik banjir adalah DAS Balangan-Tabalong. Jatam menyebut 9 titik banjir Sungai Tabalong berada di sekitar konsesi PT Adaro Indonesia.

Selain itu, Mengutip dari Sajogyo Institute karya Tommy Apriando berjudul Emas Hitam Dalam Cengkeraman Para Haji: Dari Pesta Pora, Kuasa Modal, Hingga Ancaman Meratus, sejumlah nama pengusaha batu bara bergelar haji mendominasi bisnis batu bara di Kalsel. Mereka hidup mewah bergelimang harta di tengah kerusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat sekitarnya.

Deretan konglomerat bergelar “Haji Batu Bara” di sana adalah Muhammad Hatta atau biasa disapa Haji Ciut, Abdussamad Sulaiman atau kerap dipanggil Haji Leman, Zaini Mahdi yang akrab disapa Haji ljai, Muhammad Ramlan dikenal Haji Ramlan dan satu lagi sosok haji yang paling dikenal di Tanah Bumbu, yakni Andi Syamsuddin Arsyad atau dikenal Haji Isam.

Para “Haji Batu Bara” ini tidak hanya mengantongi izin pertambangan, mereka mengantongi trading. Artinya, mereka juga bisa melakukan jual beli batu bara. Tak heran kalau keduanya dikabarkan punya rumah yang di dalamnya ada helipad.