BARISAN.CO – Rabu, 13 Januari 2021, Rizky bersama warga Barabai lainnya mendengar kabar air sungai mulai meluap. Benar saja, keesokan paginya banjir menggenangi kediamannya di Kota Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Bahkan debit air mencapai 2 meter.
Menurut Rizky, hujan kala itu tidak berhenti sehingga air sungai cepat meluap. Sekitar pukul 02.00 wita dini hari, banjir sudah mulai masuk ke kota Barabai. Ia mengatakan, di wilayah dekat aliran sungai Barabai, ketinggian air bahkan lebih dari dua meter.
“Karena tidak menduga separah ini, banyak warga yang masih terjebak banjir dan menyelematkan diri naik ke tas atap rumah,” kata dia.
Akibatnya, seperti diwartakan Antara, warga yang tinggal di sekitar aliran sungai masih banyak yang terjebak banjir dan membutuhkan pertolongan. Para relawan dan TNI POLRI pun kewalahan mengavakuasi warga.
Banjir di Kalsel ramai diperbincangkan sejak pertengahan bulan Januari ini. Bahkan, Pemerintah Kalsel telah menetapkan status bencana tanggap darurat banjir 14-27 Januari 2021.
Danrem 101/Antasari Brigjen TNI Firmansyah melaporkan jumlah korban meninggal akibat banjir yang melanda Kalimantan Selatan sebanyak 21 orang, dan sebanyak 63.608 orang berada di lokasi pengungsian.
Laporan tersebut berdasarkan pada data pada Rabu (20/1/2021). Firmansyah mengatakan, laporan itu bersifat dinamis karena pencarian dan pendataan korban masih terus berlangsung.
“Jumlah Keluarga terdampak sebanyak 120.284 KK, dengan korban meninggal 21 orang, jumlah jiwa terdampak 342.987 orang, dan jumlah pengungsi di beberapa tempat pengungsian sebanyak 63.608 orang,” kata Firmansyah dalam konferensi pers virtual, Rabu (20/1/2021).
Secara keseluruhan, ada total sebanyak 11 kabupaten kota dengan 70 kecamatan yang terdampak banjir Kalsel. 11 Kabupaten/Kota tersebut adalah Kabupaten Tapin, Banjar, Kota Banjar Baru, Tanah Laut, Banjarmasin, Hulu Sungai Tengah, Balangan, Tabalong, Hulu Sungai Selatan, Batola, dan Hulu Sungai Utara.
Sementara, lanjut Firmansyah, ada total sekitar 66.768 rumah, 18.294 meter jalan raya, yang terendam banjir. Selain itu ada 21 jembatan mengalami kerusakan, 110 tempat ibadah, dan 76 sekolah terendam.
Dampak banjir juga dirasakan hingga sektor pertanian dan perikanan. Firmansyah menyebutkan ada sekitar 18.356 hektar lahan pertanian yang terancam gagal panen pada 2021.
Di bidang perikanan, pembudidaya ikan terdampak banjir di 4 kecamatan, luas terdampak 48 petak kolam, 67 karamba, dan 17 zak pakan ikan terdampak langsung. Namun Firmansyah mengatakan pihaknya belum merinci kerugian secara nominal.
Banjir juga membuat lalu lintas terkendala. Jalur Banjarmasin dan Kota Banjarbaru, tempat Bandara Internasional Syamsudin Noor berada, melintasi Kabupaten Banjar, pun sempat tergenang, bahkan nyaris lumpuh.

Infografik sebaran banjir; BARISAN.CO/Thomi RIfa’i.
Alih Fungsi Lahan
Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menyebut, kerusakan alam menjadi faktor atau penyebab utama yang mendorong curah hujan tinggi hingga menyebabkan bencana banjir begitu luas di Kalsel, sampai 11 kabupaten. Kisworo menyebut, ada 814 lubang tambang di Kalsel, yang tidak tereklamasi.
“Belum ada perubahan, mana ada yang reklamasi. Perusahaan rata-rata belum reklamasi, alasannya masih beroperasi,” katanya dilansir dari mongabay.co.id.
Kisworo bilang, Walhi yang menang dalam gugatan hingga kasasi saja demi mempertahankan hutan seluas 5.908 hektar, tengah menghadapi upaya Peninjauan Kembali (PK) perusahaan. Kisworo menilai, pemerintah gagap dalam penanganan bencana hingga bencana berulang.
“Kalau musim hujan, banjir, musim kemarau kebakaran. Ya gimana nggak. Udah darurat ruang, konflik agraria masif, kemudian bencana ekologis, seperti banjir dan karhutla,” tambahnya.
Menurut dia, tutupan lahan di Kalsel sudah hancur terbagi ke berbagai peruntukan dari tambang batubara, perkebunan sawit, perkebunan kayu, maupun HPH. “Belum illegal logging. Di hulu di rusak, di gunung rusak.”
Lebih rinci Walhi Kalsel mencatat, dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, 581.188 hektar merupakan hutan sekunder, hanya 89.169 hektar hutan primer. Selebihnya, didominasi konsesi. Seluas 234.492,77 hektar untuk HPH, 567.865,51 hektar buat HTI, 1.219.461,21 hektar izin tambang, dan 620.081,90 hektar untuk kebun sawit.
“Di bawah dilubangi tambang, di resapan, di ekosistem rawa gambut, izin sawit. Lalu bikin kanal-kanal, akhirnya kering. Maka restorasi gambut sekat kanal, dibasahi, untuk menyerap air. Oleh sawit kan dikeringkan, ditanggul, air nggak masuk kebun sawit. Berapa juta kubik air nggak masuk ke ribuan izin sawit tadi?! Karena kalau itu masuk, tenggelam sawitnya!” terang Kisworo.
Hal senada juga diungkapkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar, menduga banjir Kalimantan Selatan terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi tambang dan sawit.
“Akibat tata guna lahan yang amburadul,” katanya.
Lewat akun twitter resmi @jatamnas, Jatam menyampaikan luas Kalsel saat ini mencapai 3,7 juta hektare. Mayoritas atau 70 persen di antaranya atau 2,6 juta hektare lahan itu telah beralih menjadi area industri ekstraktif.

Foto banjir Kalsel: Twitter/@Jatamnas.
Rinciannya yaitu luas izin tambang 1,2 juta hektare dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam 234 ribu hektare. Kemudian, IUPHHK-Hutan Tanaman 567 ribu hectare, dan Hak Guna Usaha (HGU) 620 ribu hektare.
Mudahnya perizinan disinyalir membuat alih fungsi lahan terus terjadi. Di bidang pertambangan saja misalnya, pemerintah pusat dan daerah memiliki berbagai regulasi, mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Jatam mencatat ada beberapa perusahaan tambang yang berdiri di daerah lokasi banjir. Sejumlah nama besar perusahaan itu adalah PT Adaro Indonesia milik Adaro Energy Tbk, hingga PT Arutmin Indonesia, milik PT Bumi Resources Tbk.
Salah satunya, Jatam menyinggung Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar, serta paling banyak memiliki titik banjir adalah DAS Balangan-Tabalong. Jatam menyebut 9 titik banjir Sungai Tabalong berada di sekitar konsesi PT Adaro Indonesia.
Selain itu, Mengutip dari Sajogyo Institute karya Tommy Apriando berjudul Emas Hitam Dalam Cengkeraman Para Haji: Dari Pesta Pora, Kuasa Modal, Hingga Ancaman Meratus, sejumlah nama pengusaha batu bara bergelar haji mendominasi bisnis batu bara di Kalsel. Mereka hidup mewah bergelimang harta di tengah kerusakan lingkungan dan kemiskinan masyarakat sekitarnya.
Deretan konglomerat bergelar “Haji Batu Bara” di sana adalah Muhammad Hatta atau biasa disapa Haji Ciut, Abdussamad Sulaiman atau kerap dipanggil Haji Leman, Zaini Mahdi yang akrab disapa Haji ljai, Muhammad Ramlan dikenal Haji Ramlan dan satu lagi sosok haji yang paling dikenal di Tanah Bumbu, yakni Andi Syamsuddin Arsyad atau dikenal Haji Isam.
Para “Haji Batu Bara” ini tidak hanya mengantongi izin pertambangan, mereka mengantongi trading. Artinya, mereka juga bisa melakukan jual beli batu bara. Tak heran kalau keduanya dikabarkan punya rumah yang di dalamnya ada helipad.
Klien tetap mereka di antaranya PT Kalimantan Prima Persada/KPP (anak usaha dari PT Pama Persada Nusantara), PT Pama Persada Nusantara, Semen Indonesia, PLN, dan industri lainnya.
Greenpeace Indonesia dalam laman resminya pun menyayangkan regulasi pemerintah justru memudahkan pengusaha batu bara. Regulasi seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja berpotensi memberi hak istimewa usaha tambang. Kebijakan itu seolah berseberangan dengan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Peninjauan Presiden Joko Widodo: Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden.
Curah Hujan
Tim tanggap darurat bencana LAPAN melakukan analisa penyebab banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. LAPAN menyatakan hasil analisis curah hujan dengan data satelit Himawari-8 menunjukkan bahwa liputan awan penghasil hujan di wilayah Kalsel terjadi sejak tanggal 12-13 Januari 2021 dan masih berlangsung hingga 15 Januari 2021.
“Curah hujan ini menjadi salah satu penyebab banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 13 Januari 2021,” bunyi kutipan ringkasan laporan hasil analisis tersebut dirilis melalui akun facebook resmi LAPAN RI pada Minggu, (17/1/2021).
LAPAN sekaligus menganalisis pula perubahan penutup lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, untuk mengamati fenonema banjir di Kalsel. Analisis LAPAN dilakukan dengan menggunakan data mosaik Landsat untuk mendeteksi penutup lahan DAS Barito pada periode tahun 2010 dan 2020.
“Pengolahan data dilakukan secara digital menggunakan metode random forest sehingga mampu lebih cepat dalam menganalisis perubahan penutup lahan yang terjadi,” terang LAPAN.
Hasil analisis LAPAN tersebut adalah: selama periode 10 tahun (2010-2020), memang ada penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah, dan semak belukar. Sebaliknya, terjadi perluasan area perkebunan yang cukup signifikan sebesar 219 ribu hektar dalam kurun waktu 2010-2020.
“Perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini dapat memberi gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana,” demikian keterangan LAPAN. ⠀
Sehari kemudian, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK MR Karliansyah mengatakan banjir ini lebih disebabkan oleh tingginya curah hujan, bukan soal luas hutan.
Menurut dia, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Sehingga, air masuk ke Sungai Barito di Kalimantan Selatan sebanyak 2,08 miliar meter kubik (m3). “Sementara, kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,” kata Karliansyah.
Ini persis dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi saat turun ke lokasi bencana di Kabupaten Banjar pada Senin 18 Januari 2021. Jokowi juga menyatakan bencana alam berupa banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan adalah yang terbesar selama 50 tahun terakhir.
“Sebuah banjir besar yang mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi di provinsi Kalimantan Selatan,” katanya ketika meninjau lokasi banjir di Kalimantan Selatan, Senin (18/1/2021).
Curah hujan yang sangat tinggi selama hampir 10 hari berturut-turut, tutur kepala negara, menyebabkan daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik tidak lagi mampu menampung debit air yang mencapai sebesar 2,1 miliar kubik air.
Sementara itu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono, membenarkan penurunan luas tutupan lahan ini. Salah satunya di DAS Barito di Kalimantan Selatan.
Sejak 1990 hingga 2019, penurunan luas hutan alam DAS Barito ini mencapai sebesar 62,8 persen, “Dengan penurunan hutan terbesar terjadi pada periode 1990-2000 yaitu sebesar 55,5 persen,” kata Belinda. []
Penulis: Thomi Rifa’i
Diskusi tentang post ini