Scroll untuk baca artikel
Blog

Datang Tampak Muka, Pulang Tampak Punggung

Redaksi
×

Datang Tampak Muka, Pulang Tampak Punggung

Sebarkan artikel ini

PEPATAH klasik itu sangat bermakna apalagi yang mengucapkan tersebut adalah Anies Rasyid Baswedan, tokoh publik dan kini mantan Gubernur DKI Jakarta. Arti kasarnya, lo kalau datang harus baik-baik dan pulang pun pamit jangan ninggalin pekerjaan begitu saja. Apalagi pekerjaan itu bermasalah.

Anies genap menjabat gubernur DKI Jakarta lima tahun, tidak lebih dan tidak kurang (16 Oktober 2017 – 16 Oktober 2022). Andai saja pilkada tidak ditunda atau ada masa perpanjangan masa jabatan, Anies mungkin bisa berbuat banyak lagi bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

Namun, rezim lebih menginginkan daerah berpenduduk 11 juta jiwa pada siang hari ini dipimpin oleh seorang pelaksana tugas yang merangkap pekerjaan di Istana. Bisa dibayangkan apakah pemimpin tersebut bisa konsentrasi membangun Jakarta yang kompleks untuk dua tahun ke depan?

Jangan ditanya soal demokratis atau tidaknya penunjukkan pelaksana tugas. Jelas tidak demokratis karena ditunjuk oleh satu orang yaitu Presiden. Sementara kita sudah sepakat negara ini menganut sistem demokrasi dan pemilihan langsung. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat lewat pilkada. Tapi di Indonesia terlalu banyak anomali. Jadi sudahlah.

Tapi yang jelas, Anies telah memberikan contoh dan tauladan kepada masyarakat Indonesia bahwa jabatan dan tugas itu harus dikerjakan dengan sungguh-sunguh. Di tengah kekurangan dan keterbatasan paling tidak semua janji kampanye harus ditunaikan.

Bila rakyat memilih dan memberi mandat untuk berkuasa lima tahun jalankan sesuai dengan amanat yang diberikan. Jangan sekali-kali amanat dan mandat rakyat diingkari. Jangan karena jabatan yang lebih tinggi, jabatan sebelumnya ditinggalkan dengan alasan klise panggilan negara atau rakyat memanggil.

Dalam jabatan tidak ada akselerasi. Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti pernah mengatakan seorang walikota kemudian jadi gubernur dan jadi presiden tanpa menuntaskan masa jabatan sebelumnya disebut produk akselerasi. Akselerasi itu hanya ada di sekolah karena anak itu cerdas atau jenius.

Sementara pemimpin itu lahir tidak dikarbit melainkan lewat proses dan perjuangan bukan lewat pencitraan atau vermak kehidupan banal: kesederhanaan dan merakyat. Karena seseorang dikatakan merakyat dan sederhana itu diwujudkan lewat kebijakannya bukan lewat topeng.

Bukti pemimpin yang menganut prinsip “Datang Tampak Muka, Pulang Tampak Punggung” pasti dicintai mayoritas rakyatnya. Dan itu, diperlihatkan ketika Anies mengakhiri masa jabatannya dilepas dengan tangis dan antusias ribuan mungkin jutaan orang di Jakarta dan juga di sejumlah daerah lainnya. Mereka menginginkan setelah berhenti jadi gubernur Anies bersiap untuk menjadi Presiden Indonesia.

Mereka berharap pekerjaan Anies yang sukses di laboratorium bernama Jakarta dapat diaplikasikan dan ditularkan untuk di wilayah lainnya di Indonesia. Mereka tentu sangat merindukan sejumlah kebijakan di Jakarta seperti terkait Kartu Jakarta Pintar yang awalnya hanya menyasar anak sekolah kemudian dikembangkan Anies menyasar anak usia sekolah. Jadi tidak ada alasan anak yang tidak bisa sekolah. Belum lagi terkait transportasi publik yang ramah lingkungan.

Anies juga tidak mengklaim semua program di Jakarta sebagai ide orisinal nya. Anies yakin pembangunan itu harus berkesinambungan (continuity) dan perubahan ke arah yang lebih baik (change). Pekerjaan itu harus tuntas jangan cuma meriah saat groundbreaking. Dan yang terpenting program itu harus langsung dirasakan warga Jakarta.

Jadi sekali lagi omong kosong dengan akselerasi. Pemimpin itu dilahirkan lewat proses dan tidak dikarbit. Buah itu lebih manis kalau masak di pohon. [rif]