Scroll untuk baca artikel
Blog

Defisitnya Mau Seberapa Lebar Bu Menkeu?

Redaksi
×

Defisitnya Mau Seberapa Lebar Bu Menkeu?

Sebarkan artikel ini

Belum ditetapkan payung hukumnya semisal Perpres. Prakiraan realisasi itu masih bersifat outlook, yang sebenarnya disampaikan dalam konteks hal lain kepada DPR. Yakni tentang rencana kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN), yang tentu saja berimplikasi pada biaya. Nah, biaya PEN itu terutama berkaitan dengan postur APBN, sehingga perlu dikemukakan.

Outlook APBN 2020 per 18 Mei tersebut menurunkan lagi target Pendapatan menjadi sebesar Rp1.691,6 triliun. Lebih rendah dibanding yang ditetapkan Perpres sebesar Rp1.760,9 triliun. Outlook juga menambah rencana belanja menjadi sebesar Rp2.720,1 triliun. Akibatnya, defisit diprakirakan meningkat menjadi Rp1.028,5 triliun. Rasionya atas PDB dikatakan sebesar 6,27%.

Mengingat fenomena pandemi covid-19 di Indonesia masih penuh ketidakpastian, maka tidak mustahil outlook APBN 2020 dari Pemerintah akan berubah lagi. Lebih mungkin bersifat memburuk dalam artian defisit makin besar dibanding kemungkinan sebaliknya.

Satu hal yang perlu dicermati adalah berapa prakiraan PDB 2020 menurut Pemerintah. Nilainya akan menentukan rasio defisit APBN. Sekaligus menunjukkan prakiraan Pemerintah atas pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi. Secara teknis, harus seiring dan konsisten perhitungannya.

Ketika APBN 2020 menyebut defisit sebesar Rp307,23 trilin memiliki rasio 1,76%, maka nilai PDB diasumsikan sebesar Rp17.400 triliun. Ketika Perpres menargetkan defisit sebesar Rp859,2 triliun sebagai 5,07%, maka PDB dianggap Rp16.822 triliun. Sedangkan “outlook” per Mei 2020 mengatakan defisit bisa mencapai Rp1.028,5 triliun sebagai 6,27%, maka PDB diasumsikan Rp16.404 triliun.

Perubahan asumsi PDB tentu saja mencerminkan perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Secara teknis, tingkat inflasi yang dipakai bukan dari indeks harga konsumen (IHK), melainkan yang dihadapi produsen. Perhitungan teknis “inflatoir”nya memakai PDB deflator atau indeks implisit PDB. Secara sederhana dapat dikatakan indeks implisit searah dengan inflasi IHK, dengan besaran sedikit lebih rendah.

PDB menurut harga berlaku tahun 2019 sebesar Rp15.834 triliun. Ketika Perpres memprakiraan PDB sebesar Rp16.822 dapat ditafsirkan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasinya memang mengikuti skenario berat. Yaitu pertumbuhan ekonomi (2,3%) dan inflasi (3,9%). Sedang outlook per 18 Mei tampak mulai mengarah kepada skenario sangat berat, yaitu pertumbuhan ekonomi (-0,4%) dan inflasi (5,1%). Penamaan skenario berat dan sangat berat diberikan oleh Pemerintah sendiri.

Realisasinya hingga akhir tahun nanti masih tak bisa dipastikan. Dapat saja pandemi berlangsung lebih lama, dan dampaknya lebih buruk dari prakiraan. Defisit bisa menjadi lebih lebar. Realisasinya mungkin mencapai Rp1.100 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari proyeksi skenario sangat berat, misalkan terkontraksi hingga -1,5%.