Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Defisitnya Mau Seberapa Lebar Bu Menkeu?

Redaksi
×

Defisitnya Mau Seberapa Lebar Bu Menkeu?

Sebarkan artikel ini

Satu hal yang perlu dicermati adalah berapa prakiraan PDB 2020 menurut Pemerintah. Nilainya akan menentukan rasio defisit APBN. Sekaligus menunjukkan prakiraan Pemerintah atas pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi. Secara teknis, harus seiring dan konsisten perhitungannya.

Ketika APBN 2020 menyebut defisit sebesar Rp307,23 trilin memiliki rasio 1,76%, maka nilai PDB diasumsikan sebesar Rp17.400 triliun. Ketika Perpres menargetkan defisit sebesar Rp859,2 triliun sebagai 5,07%, maka PDB dianggap Rp16.822 triliun. Sedangkan “outlook” per Mei 2020 mengatakan defisit bisa mencapai Rp1.028,5 triliun sebagai 6,27%, maka PDB diasumsikan Rp16.404 triliun.

Perubahan asumsi PDB tentu saja mencerminkan perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Secara teknis, tingkat inflasi yang dipakai bukan dari indeks harga konsumen (IHK), melainkan yang dihadapi produsen. Perhitungan teknis “inflatoir”nya memakai PDB deflator atau indeks implisit PDB. Secara sederhana dapat dikatakan indeks implisit searah dengan inflasi IHK, dengan besaran sedikit lebih rendah.

PDB menurut harga berlaku tahun 2019 sebesar Rp15.834 triliun. Ketika Perpres memprakiraan PDB sebesar Rp16.822 dapat ditafsirkan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasinya memang mengikuti skenario berat. Yaitu pertumbuhan ekonomi (2,3%) dan inflasi (3,9%). Sedang outlook per 18 Mei tampak mulai mengarah kepada skenario sangat berat, yaitu pertumbuhan ekonomi (-0,4%) dan inflasi (5,1%). Penamaan skenario berat dan sangat berat diberikan oleh Pemerintah sendiri.

Realisasinya hingga akhir tahun nanti masih tak bisa dipastikan. Dapat saja pandemi berlangsung lebih lama, dan dampaknya lebih buruk dari prakiraan. Defisit bisa menjadi lebih lebar. Realisasinya mungkin mencapai Rp1.100 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari proyeksi skenario sangat berat, misalkan terkontraksi hingga -1,5%.

Pada saat bersamaan, inflasi menjadi soalan dilematis. Pemerintah dan Bank Indonesia pasti akan berupaya keras menahan laju inflasi, sekurangnya tidak melampui 5%. Laju pertumbuhan implisit PDB (inflasi yang dihadapi produsen) akan di kisaran 3-4%. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi sekitar -1,5% di atas, maka PDB nominal hanya di kisaran Rp16.350 triliun.

PDB menurut harga berlaku tahun 2020 kemungkinan menjadi tetap lebih besar dibanding tahun 2019. Namun hal itu karena kontribusi inflasi. Jika inflasi lebih dari 5%, maka PDB baru akan dapat mencapai asumsi outlook 18 Mei. Bisa dipastikan tidak akan sebesar prakiraan versi Perpres.

Singkat kata, kita tidak sedang bicara tentang defisit 5,07% (versi Perpres) ataupun 6,27% (versi outlook 18 Mei), melainkan mengarah pada 6,73%. Dan jika defisitnya seperti prakiraan penulis, yakni Rp1.100 triliun. Tampaknya kita terpaksa berdiskusi tentang angka psikologis rasio defisit yang baru, yakni 7%.

Baiklah, pendapatan akan turun akibat pendemi. Setuju, belanja meningkat karena kebutuhan mitigasi. Akibatnya, defisit melebar. Namun, mau seberapa lebar? Dan yang paling penting, jelaskan kepada publik secara lebih lugas tentang perhitungannya. Kondisi sulit bukan berarti segalanya dipasrahkan begitu saja kepada segelintir orang. Kita sedang bicara nasib semua rakyat, lintas generasi.