Sebagai pembicara pertama adalah Professor Nobukazu Nishio, yang mengangkat tema tentang penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Jepang. Nobukazu menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa HKI, proses banding yang menurut Nabukazo di pengadilan Jepang mengutamakan penyelesaian secara Wakai (perdamaian di pengadilan) dan secara Chotei (penyelesain secara negosiasi). Pendekatan negosiasi ini semakin penting mengingat penyelesaian secara litigasi akan memakan waktu yang lama, sementara di Jepang, misalnya permohonan paten ke Japan Patent Office (JPO) mencapai tiga ratus ribuan per tahun.
Hakim Agung Dr. Pripambudi Teguh, SH, MH menyampaikan gagasannya terkait pencarian kebenaran materiil dalam putusan lembaga peradilan terkait kepemilikan dan sengketa pertahanan. Beliau memberikan disclaimer dan tidak bermaksud membahas kasus, namun berdasarkan pengalaman beliau, beliau mengatakan bahwa mafia tanah yang kerapkali terjadi telah menyengsarakan rakyat.
Acapkali para mafia tanah mengincar tanah kosong dan kemudian – entah bagaimana caranya—menjadi pemegang Akta Jual Beli (AJB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM), dan setelah lebih dari lima tahun mengklaim kepemilikan tanah tersebut, padahal yang mendaku memiliki tanah tersebut belum pernah menguasai tanah dan belum pernah tau dimana lokasi tanahnya dan mungkin tak pernah hadir dalam transaksi sebenarnya dihadapan pejabat yang punya wewenang. Dalam keadaan semacam itu, menurut hakim agung Dr. Pri Pambudi Teguh, seorang hakim harus mengutamakan pencarian kebenaran materiil, bukan semata-mata formil.
Pembicara lain adalah Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, SH., LL.M., mengangkat permasalahan model pembelajaran dalam memperkuat sistem pendidikan hukum yang berkarakter Pancasila. Beliau menjelaskan pendidikan hukum (rechtschool) sejak jaman pra kemerdekaan sampai sekarang. Prof Dr Marsudi menjelaskan tentang pentingnya Pancasila menjadi bagian integral dalam pendidikan kita serta harus menjadi way of life yang harus diutamakan. Pada diskusi lanjutan, Hayyan ul Haq, yang memvisualisasikan esensi Pancasila sebagai takdir dalam kehidupan kolektif (collective destiny) kita harus dibadankan dalam sistem pembelajaran hukum di ranah behaviour, bukan di ranah kognitif, menjadi imperatif!!