BARISAN.CO – Mafia atau mafiusu adalah sekelompok orang yang bekerja bukan secara sembarangan. Mafia tanah, dengan sendirinya, bisa berarti merupakan kelompok yang berjejaring, terorganisir, dan bahkan tak jarang terhubung dengan sistem resmi kepemerintahan dalam melancarkan kejahatannya.
Kehadiran mafia tanah di Indonesia demikian meresahkan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil bahkan menyatakan ‘perang’ terhadap mereka.
Sudah banyak kerugian disebabkannya, mulai dari terjadinya sengketa pertanahan, tumpang tindih kepemilikan, okupasi, konflik, dan tak jarang hal-hal tersebut berujung pertumpahan darah. Bagaimanapun, tiap jengkal kepemilikan atas tanah bagi sebagian budaya adalah setaraf harga diri yang patut dipertahankan habis-habisan dengan nyawa sekalipun.
Skema yang jamak terjadi pada kejahatan ini adalah merekayasa dokumen pemilik palsu atas bukti kepemilikan hak tanah. Dari sini semua biasanya bermula. Banyak pihak terlibat. Pada kecenderungannya, nyaris selalu ada aktor intelektual atau pemodal besar yang berdiri di belakang skema-skema jahat tersebut.
Para aktor inilah yang memiliki saham terbesar atas tanah-tanah yang mereka incar. Pada umumnya, tanah incaran mereka bernilai ekonomi tinggi. Dan oleh karena tanah-tanah ini juga punya daya tarik dalam kepentingan pembangunan, hampir pasti ada oknum pemerintah yang terlibat dalam mafia tanah.
Salah satu kasus yang pernah mencuat adalah keterlibatan mantan Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Jaya, yang dilaporkan ke kepolisian dan dipecat pada awal 2021. Akibat ulahnya, negara dirugikan hampir Rp1,4 triliun.
Dalam keterangan Badan Pertanahan, bukan hanya Jakarta, sejumlah kasus serupa juga tersebar di beberapa wilayah dengan nilai tanah yang tinggi, antara Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat.
Dikutip dari Kompas (18/5/2021),Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN RB Agus Widjayanto menjelaskan, sejak 2018 terdapat 244 kasus mafia tanah yang sudah ditangani.
“Kenapa 244 kasus? Itu sesuai dengan target anggaran yang kami punya. Setiap tahun itu (menangani) 61 kasus di seluruh Indonesia,” kata Agus. Tercatat dalam tiga tahun terakhir, BPN telah mampu merealisasikan penanganan kasus melebihi target yang mengacu ketersediaan anggaran.
Keberhasilan BPN patut diapresiasi, meski belum patut dirayakan. Pemberantasan mafia tanah masih merupakan jalan yang panjang. Konon, masih cukup kuat jejaring mafia tanah di tubuh Kementerian ATR/BPN, dan itu perlu diawasi terus menerus.