Mereka merasa ditinggal oleh Tuhan, padahal sebelum kejadian musibah, bisa jadi tak merasa dekat dengan-Nya. Nah, akankah demikian? Untuk dekat, mesti tunggu musibah demi musibah? Untuk merasai-Nya, asma-asma-Nya sedemikian sering dilafalkan, apakah harus melalui duka? Apakah mesti menunggu sakit menahun, baru mendekat kepada-Nya?
Sebaliknya, dalam kondisi aman, badan segar bugar, acuh dan lupa kehendak-Nya. Serasa sanggup menuntaskan segala tanpa campur tangan-Nya. Kala terserang batuk flu, dokter dan obat-obatan apotik yang kita ingat bukan peringatan dan kekuasaan-Nya. Usaha bisnis home industri sedang seret, bukan isyarat kuasa Tuhan yang kita telisik, melainkan tetangga lingkungan yang dipersalahkan.
Sehingga, menghadirkan rasa bertuhan, kiranya berbeda dengan pelajaran aqidah dan kuliah tauhid di bangku sekolah. Menghadirkan rasa, tidak dengan menghafal kata-kata pujangga. Menghadirkan rasa adalah menghayati, yaitu mengalami dan merasakan.
Maka jelas, kenapa disebutkan pengalaman merupakan guru terbaik. Pelajaran tentang baik-buruk, benar-salah terolah menjadi kebijaksanaan hanya efektif dengan mengalaminya sendiri. Bukan sekadar membaca teks pelajaran, pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dengan mengalami sendiri, mengerjakan langsung, niscaya kita dapatkan daya rasa.
Sekiranya, penggalan ayat 115 surah Al-Baqarah itu pun demikian. Akan berhenti sebatas teks, jika tidak kita alami sendiri. Yaitu, kesediaan untuk berlepas dari ikatan batin atas benda-benda yang dimiliki. Rukun Islam mengajarkan begitu.
Pertama, syahadat kita perbarui sebagai ikrar hanya akan bertuhankan Allah, bukan tuhan-tuhan materi, popularitas dan segenap ambisi yang berlebih.
Kedua, salat kita kerjakan, tak sebatas ikrar bertuhankan Allah, tetapi sudah benar-benar menjauhkan diri dari ikatan duniawi, meski hanya sesaat, tak lebih dari 5-10 menit. Salat, dibuka dengan takbiratulihram, membesarkan Tuhan, mengandaikan bumi yang dipijak, gelar, pangkat, kendaraan, dan segala atribut keduniaan itu dikerdilkan. Bahwa yang besar, yang Mahaagung hanya Allah, Tuhan semesta raya. Pengalaman bertuhan yang demikian kita hayati dengan mengagungkan Tuhan dalam keseluruhan gerakan salat.
Ketiga, zakat, tidak lagi sebatas 5-10 menit untuk mengecilkan gemerlap dunia, tapi minimal 2,5% harta milik yang kita cintai mesti hilang dari genggaman. Kita kumpulkan harta, lantas melepasnya. Zakat, sarana teknis Tuhan untuk menggiring bahwa harta itu tak selamanya kita pegang erat. Ada hak buat orang lain.
Keempat, puasa. Nah itu, tidak cukup dengan ikrar, 5-10 menit memunggungi dunia, dan 2,5% harta dikeluarkan, tapi selama kurang lebih 14 jam, kita mesti mentalak dunia. Mulai fajar subuh hingga bedug maghrib, harus bercerai dengan ambisi dan kebolehan atas dunia.