Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Di Sanalah Wajah-Nya

Redaksi
×

Di Sanalah Wajah-Nya

Sebarkan artikel ini

Saya tulis penggalan ayat “ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah.” di dinding rumah. Penggalan ayat yang mengingatkan akan pandangan mengarah pada-Nya. Sebuah laku yang tentu saja tidak bertentangan dengan aturan main-Nya. Laku yang disukai-Nya, laku yang dalam perkenan-Nya. Laku yang lazim kita kenal sebagai akhlaqul karimah.

Saya tulis di dinding, mengingat betapa tak gampang menghadirkan rasa bertuhan. Menghadirkan kesadaran betapa kita sedang dikepung Tuhan. Tiada lorong bersembunyi dari tatapan-Nya.

Saya tulis penggalan ayat yang menghardik kesadaran, betapa kita tak kunjung membaik. Betapa proses kebertuhanan tak selaras dengan kemajuan zaman. Betapa usia dunia kian dekat pada penghancuran total (kiamat), tapi kesadaran bertuhan justru memudar. 

Menghadirkan-Nya! Ah, memang bukan lagi perkara yang mudah. Saban hari kita dijejali kemudahan. Dikepung sarana yang meringankan kerja-kerja sosial budaya. Sarana komunikasi yang memudahkan untuk menjalin persahabatan, meski berada di ujung dunia. Pengin transfer uang, sudah bukan zaman lagi via pos giro, yang harus mengantre di kantor pos. Kirim naskah tulisan, bisa kita lakukan sembari tiduran di atas sofa.

Atau di samping anak-anak, plus aneka cemilan makanan ringan. Pesan tiket pesawat atau pun kereta api, sudah tidak perlu lagi kaki melangkah ke bandara dan stasiun kereta. Belanja buku, pakaian dan kebutuhan keluarga, cukup lewat gadget.

Pendek kata, hampir di semua aktivitas kehidupan, telah tersedia sarana teknisnya. Kini kita benar-benar dimanjakan. Lantas kenapa merasakan Tuhan? Toh sebetulnya kita merasa tidak butuh Tuhan. Tidak harus khusyuk memanjatkan doa-doa, merayu-Nya agar memudahkan hidup kita. Serasa tak perlu lagi kini, semua kebutuhan sudah antre berjajar di pelupuk mata.

Almarhum Cak Nur mendefinisikan takwa sebagai kesadaran ketuhanan. Suatu kondisi batin yang sanggup menghadirkan Tuhan seutuh waktu. Lagi-lagi pertanyaannya adalah bagaimanakah hal itu terjadi? Mungkinkah kita bisa menghadirkan rasa butuh Tuhan, selagi sarana sedemikian mudah kita peroleh?

Bukankah rasa butuh Tuhan, tatkala kita kehilangan gantungan kepada sarana dunia? Bagaimanakah kita akan khusyuk salat? Mengiba-iba penuh sesak tangis? Sementara harta melimpah menyelimuti pola keseharian, dan yang tak bakal habis hingga tujuh turunan. Lantas, apakah mesti dengan kefakiran, sehingga berasa butuh Tuhan? Apakah harus berkondisi miskin, papa, dan tak memiliki barang-barang?

Setidaknya acap terjadi, Tuhan serasa ada dan kita butuhkan, kala terpuruk. Saya masih ingat dengan cerita-cerita seputar gempa tektonik 2006 di Yogyakarta, dan bencana-bencana alam lainnya. Orang-orang yang tertimpa bencana itu, mendadak bertuhan. Tiba-tiba saja mereka fasih menyebut asma-Nya.

Mereka merasa ditinggal oleh Tuhan, padahal sebelum kejadian musibah, bisa jadi tak merasa dekat dengan-Nya. Nah, akankah demikian? Untuk dekat, mesti tunggu musibah demi musibah? Untuk merasai-Nya, asma-asma-Nya sedemikian sering dilafalkan, apakah harus melalui duka? Apakah mesti menunggu sakit menahun, baru mendekat kepada-Nya?

Sebaliknya, dalam kondisi aman, badan segar bugar, acuh dan lupa kehendak-Nya. Serasa sanggup menuntaskan segala tanpa campur tangan-Nya. Kala terserang batuk flu, dokter dan obat-obatan apotik yang kita ingat bukan peringatan dan kekuasaan-Nya. Usaha bisnis home industri sedang seret, bukan isyarat kuasa Tuhan yang kita telisik, melainkan tetangga lingkungan yang dipersalahkan.

Sehingga, menghadirkan rasa bertuhan, kiranya berbeda dengan pelajaran aqidah dan kuliah tauhid di bangku sekolah. Menghadirkan rasa, tidak dengan menghafal kata-kata pujangga. Menghadirkan rasa adalah menghayati, yaitu mengalami dan merasakan.