Opini

Dibawah Bayang – Bayang Cawe – Cawe

Avatar
×

Dibawah Bayang – Bayang Cawe – Cawe

Sebarkan artikel ini
Presiden Joko Widodo (kanan)

SALAH satu tuntutan reformasi 1998 adalah adanya pemerintahan yang bersih, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta terwujudnya negara yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban rakyat dalam koridor demokrasi.

Sejarah peristiwa Reformasi disebabkan oleh peristiwa otoritarian Orde Baru yang selalu mengintervensi dan mencampuri urusan pilihan politik warganya, ditentang habis – habisan oleh rakyat, mahasiswa, akademisi dan buruh. Hal itu dilakukan agar setelah itu diharapkan proses politik yang ada bisa berlangsung secara demokratis.

Sejarah juga pernah mencatat peristiwa kelam matinya demokrasi, ketika berlangsungnya demokrasi liberal antara tahun 1950 – 1959, dimana saat itu berlaku kekuasaan parlemen, sehingga kemudian mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 dengan mengatakan kembali kepada UUD 1945.

Masa 1959 – 1965, muncullah demokrasi terpimpin, dimana saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden. Sehingga terjadi apa yang disebut dengan otoritarianisme. Sehingga saat itu apapun yang menjadi titah Soekarno adalah hukum dan harus dilaksanakan.

Setelah Orde Lama di zaman Soekarno berganti ke Soeharto (Orde Baru), terjadi semangat berdemokrasi yang cukup baik, partisipasi masyarakat didorong namun dalam hal partai politik, Soehrto membatasi menjadi tiga partai, campur tangan negara sangat kuat, sehingga Soeharto terlihat seperti diktator, karena selalu mengintervsnsi. Kebebasan berpendapat dibatasi, sehingga menjadikan demokrasi mati.

Karakter Orde Lama dan Orde Baru dalam hal kebebasan berpendapat dan berpolitik hampir sama, semua yang dianggap berbeda maka layak mendapatkan hukuman, sehingga negarapun terlalu banyak melakukan cawe – cawe.

Reformasi menjadi zaman yang diharapkan bisa mengembalikan kehidupan berdemokrasi semakin baik, tapi nyatanya setelah dua puluh lima tahun, demokrasi menjadi seolah olah dan mati suri.

Pemerintah terlalu banyak mencampuri urusan masyarakat termasuk juga terhadap partai politik. Alasannya sederhana, yaitu sebagai kontrol terhadap masyarakat. Hal ini pernah terjadi ketika PDI pada saat itu dibajak oleh pemerintahan Orde baru dengan menempatkan Soerjadi sebagai ketuanya, akibatnya terjadi Kongres Bali, Kongres tandingan yang menjadikan Megawati sebagai ketuanya dan PDI berubah menjadi PDIP, hingga terjadi peristiwa Kudatuli.

Pernyataan Jokowi “Saya akan cawe – cawe demi bangsa dan negara” seolah membenarkan sinyalemen bahwa kita sedang kembali kepada dua zaman kelam otoritarianisme, Orde Lama dan Orde Baru.

Akibatnya pemerintah bisa dengan leluasa melakukan kontrol kepada siapapun yang tidak dikehendaki. Sebagaimana yang diduga, Pembajakan partai Demokrat dari AHY yang dilakukan oleh Moeldoko.

Pilpres 2024 akan menjadi korban otoritarianisme di zaman reformasi. Cara yang dilakukan dengan berlindung pada parlementiary threshold, pemerintah leluasa menentukan siapa yang dikehendaki menjadi presiden selanjutnya. Tidak salah kalau kemudian Jokowi sebagai kepala negara yang seharusnya netral, ternyata juga cawe, meng endorse calon tertentu yang dikehendaki dan menjegal siapa yang tak dikehendaki.