Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Ekonom: Dikelola Tidak Tepat, Masa Depan APBN Bisa Menjadi Sangat Buruk

Redaksi
×

Ekonom: Dikelola Tidak Tepat, Masa Depan APBN Bisa Menjadi Sangat Buruk

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – APBN dikelola tidak tepat dari tahun ke tahun, bahkan dari bulan ke bulan. Masa depan APBN Indonesia bisa dikatakan buruk, dan bisa menjadi sangat buruk berdasarkan perhitungan kami.

Demikian disampaikan Ekonom Senior Awalil Rizky pada diskusi LP3ES Twitter Space Didik J Rachbini dengan tema Masa Depan APBN dan Warisan Utang Jokowi, Minggu (24/4/2022).

Bahkan terkait perencanaan utang, Awalil Rizky menuturkan bahwa pemerintah selalu menyatakan aman.

“Padahal dari berbagai angka yang ada jelas tidak aman. Dan kalau mau diambil jalan tengah antara aman dan tidak aman maka sebutannya adalah rentan, atau rawan,” tegasnya.

Menurut Awalil APBN kita memang selalu defisit. Namun persoalannya bukan pada defisitnya, tapi defisitnya cenderung membesar secara nominal.

“Sementara pemerintah beralasan bahwa itu terkendali dengan ukuran rasio PDB. Hanya catatanya, hal itu berlaku sampai dengan 2019,” imbuhnya.

Tetapi setelah pandemi defisit melonjak menjadi 6%, kemudian ada “blessing” dari kenaikan komoditas dunia pada 2021 dan defisit turun menjadi 4,7%. Diperkirakan pada 2022 kalau “blessing” tidak dapat dipertahankan maka defisit akan menjadi 4 atau 4,5%.

Awalil menyampaikan pertanyaan pentingnya, apakah dengan defisit 2-2,5% defisit APBN sebelum pandemi lalu melompat menjadi 6% di era pandemi, dan setelah pandemi nanti diperkirakan bisa turun lagi 2,5% defisit, apakah hal itu baik? maka jawabannya tidaklah baik.

“Karena, defisit yang ideal apalagi jika hendak ekspansi maka defisit APBN semestinya kurang dari 1%, dan sesekali surplus untuk negara bekembang seperti Indonesia. Sesekali surplus dan 4 tahun defisit dengan kisaran 1% itu masih dibolehkan,” jelasnya.

Warisan utang jokowi
Diskusi LP3ES Twitter Space Didik J Rachbini dengan tema Masa Depan APBN dan Warisan Utang Jokowi

Peneliti LP3ES, Fachru Nofrian Bakarudin menyampaikandari data yang ada, defisit APBN mengalami penurunan pada 2010 sebesar Rp469 triliun, lalu pada 2017 defisit turun menjadi Rp340 triliun, sementara di masa pandemi defisit APBN melonjak menjadi sebesar Rp 948 triliun.

“Governement defisit itu menandakan dua hal, defisit pemerintah biasanya ditujukan untuk pengeluaran guna mengurangi unemployment rate. Sementara pada saat pandemi semua defisit digunakan untuk membiayai penanganan pendemi Covid-19,” sambungnya.

Fachru Nofrian menambahkan bagaimana cara membayar government defisit? untuk soal itu bisa dilihat pada paradigma perpajakan yang dianut.

Tax rate memang menurun. Pada 2011 tax rate sebesar 20,8 % dan menjadi 13 % di 2018. Lalu menjadi minus 16,9% pada tahun 2020. Secara tax alami peningkatan, tetapi secara rate jelas alami penurunan.

“Jadi masalah sekarang adalah bagaimana mengatasi pembayaran yang jauh lebih besar rate peningkatannya pada interest payment yang semakin meningkat,” terangnya.

Menurut Fachru Nofrian indikator lain adalah pada angka subsidi di APBN. Pada jangka menengah subsidi mengalami penurunan, pengeluaran untuk biaya persoinil dan modal capital juga mengalami penurunan.

“Harus dikaji apakah utang yang besar sekarang bisa digunakan untuk membayar biaya-biaya yang tertunda di masa yang akan dating,” tuturnya.

Sementara itu, Ekonom INDEF Eisha M Rachbini mengatakan utang Indonesia memang semakin berat jika dilihat dari struktur APBN dari penerimaan, pengeluaran, defisitnya dan beberapa rasio yang harus dilihat seperti berapa persen target defisit terhadap PDB.

“Risiko ke depan di tengah kenaikan harga komoditas yang tinggi di pasar global yang sebenarnya menjadi berkah di mana pada Maret 2022 posisi APBN mengalami surplus,” lanjutnya.

Menurut Eisha M Rachbini kondisi perekonomian nasional jelas semakin sulit dan menambah tantangan ke depan.