“Jadi masalah sekarang adalah bagaimana mengatasi pembayaran yang jauh lebih besar rate peningkatannya pada interest payment yang semakin meningkat,” terangnya.
Menurut Fachru Nofrian indikator lain adalah pada angka subsidi di APBN. Pada jangka menengah subsidi mengalami penurunan, pengeluaran untuk biaya persoinil dan modal capital juga mengalami penurunan.
“Harus dikaji apakah utang yang besar sekarang bisa digunakan untuk membayar biaya-biaya yang tertunda di masa yang akan dating,” tuturnya.
Sementara itu, Ekonom INDEF Eisha M Rachbini mengatakan utang Indonesia memang semakin berat jika dilihat dari struktur APBN dari penerimaan, pengeluaran, defisitnya dan beberapa rasio yang harus dilihat seperti berapa persen target defisit terhadap PDB.
“Risiko ke depan di tengah kenaikan harga komoditas yang tinggi di pasar global yang sebenarnya menjadi berkah di mana pada Maret 2022 posisi APBN mengalami surplus,” lanjutnya.
Menurut Eisha M Rachbini kondisi perekonomian nasional jelas semakin sulit dan menambah tantangan ke depan.
Terjadinya kenaikan harga-harga terutama minyak goreng, BBM, dan rencana kenaikan gas LPG yang memberatkan masyarakat. Kondisi masyarakat sebenarnya belum pulih akibat pandemi dan belum bisa kembali sebagaimana masa sebelum pandemi.
“Pemerintah harus memprioritaskan subsidi yang seharusnya diberikan ke orang tidak mampu. Kondisi kenaikan harga-harga rentan akan menimbulkan tingkat kemiskinan yang semakin parah,” tegas Eisha.