SUATU hari Rasulullah SAW mengelilingi kota Madinah. Beliau berjalan di perkampungan pinggir kota pada saat bulan Ramadhan, untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat.
Sampailah Rasulullah SAW di depan sebuah rumah. Rasulullah SAW memperhatikan seorang wanita dari jauh. Wanita, penghuni rumah tersebut terlihat sedang marah besar. Dia memaki, mengumpat seseorang.
Penasaran, Rasulullah SAW pun mendekat. Beliau mendapatai bahwa wanita itu sedang mencaci maki pembantunya. Rasulullah SAW terkejut melihatnya. Rasulullah SAW berbalik badan, kembali ke rumahnya.
Sampai rumah, Rasulullah langsung mengambil apa yang dibutuhkannya. Beliau pun kembali menuju kediaman wanita yang sedang melampiaskan amarahnya tersebut.
Wahai ibu, ini saya bawakan makanan. Makanlah! Rasulullah SAW menyapa. Wanita itu kaget. Selama ini ia tak memperhatikan kehadiran sang Rasul. Saya berpuasa, jawabnya. Benar Anda berpuasa? Ya, wahai utusan Allah.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, betapa sedikit orang yang berpuasa hari ini. Sungguh banyak sekali orang yang hanya merasakan lapar dan dahaga.
Kisah di atas menggambarkan dua hal; perilaku buruk menyebabkan rusaknya ibadah puasa. Kemudian bahwa ibadah yang secara spiritual sudah dilakukan sesuai anjuran, kesempurnaannya terpenuhi melalui perbuatan-perbuatan baik secara sosial.
Ibadah puasa secara syariat ditujukan untuk membentuk perilaku manusia secara keseluruhan dalam berbagai dimensinya. Dalam al Quran ungkapan ini diistilahkan “agar kalian semua menjadi orang yang bertaqwa” (al Baqoroh: 183)
Kualifikasi ‘Taqwa’ banyak disebutkan dalam al Quran menunjukkan kesempurnaan tingkat kemanusiaan manusia. Mulai dari dimensi personalnya, spiritualnya, hingga dimensi sosialnya.
Dalam pandangannya saya, justru kualitas ketaqwaan lebih banyak diindikasikan dengan kesempurnaan kualitas dimensi personal dan sosial seorang mukmin.
Ketaqwaan indikatornya adalah perilaku, baik secara personal, maupun sosial. Ketika ibadah puasa dijalankan tanpa diikuti dengan perilaku yang baik maka puasa itu sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi, “hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaga”.
Puasa dalam dimensi spiritual
Puasa sebagai sarana mengkalibrasi setiap unsur kemanusiaan dalam diri manusia. Melalui ibadah puasa sesungguhnya setiap muslim kembali mengukur tingkat spiritualitasnya lewat serangkaian amaliyah ramadhan.
Alat ukur utamanya adalah puasa, meninggalkan makan dan minum, serta syahwat selama waktu terbitnya fajar hingga waktu tenggelamnya matahari.
Paling tidak ada dua hal yang diukur dalam spiritualitas ibadah puasa:
Pertama keimanan kita kepada Allah SWT, keyakinan kita atas berbagai karunia yang dicurahkan selama bulan suci Ramadhan. Dalam hadits disebutkan bahwa di antara keistimewaan ibadah puasa adalah ia merupakan sebuah ibadah yang khusus, untuk keharibaan Zaat Allah SWT.
Dan karena kekhususannya, Allahlah Yang akan secara khusus pula memberikan ganjaranNya kepada manusia. Di situ nilai spiritual yang agung dari puasa adalah tentang nilai keikhlasan.
Kedua, ibadah puasa mengukur jati diri manusia dari aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Secara intelektual ibadah puasa memberikan pesan moral yang amat banyak, anjuran merenungi, merefleksi diri, mengkaji, menela’ah berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam beragama, menjalankan pesan-pesan taqwa, menjalankan peran sebagai khalifah yang dasarnya adalah ajaran nabi Muhamamd SAW.
Kecerdasan emosi mendorong lahirnya ketabahan dan kesabaran menghadapi segala tantangan dan ujian. Banyak disebutkan dalam tuntunan beribadah puasa sebagaimana disebutkan oleh Rasululkah SAW: