Scroll untuk baca artikel
Terkini

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Dua)

Redaksi
×

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Dua)

Sebarkan artikel ini

Ada pula yang disebut bantuan proyek, yang pada dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak. Sebenarnya tidak selunak kelihatannya. Jenis utang ini kebanyakan bukan berupa “cash” yang bebas dipakai. Melainkan berupa barang modal, bantuan teknis, “voucher belanja” dan semacamnya. Bunganya tampak ringan, tetapi beli barangnya mesti dari negara pemberi utang. Bahkan, harus menjalankan proyek seperti yang mereka inginkan, termasuk membayar tenaga ahli dari mereka.

Para pemberi utang awalnya hanya terdiri dari beberapa negara dan lembaga keuangan iternasional. Para kreditur itu berkoordinasi dalam lembaga Bernama Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Anggotanya antara lain terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia.

Diwarnai beberapa insiden dramatis sekitar setahun, IGGI dibubarkan pada tahun 1992 atas desakan Soeharto. Ternyata, IGGI hanya bertransformasi menjadi Consultative Group for Indonesia (CGI). Pimpinan memang berganti, dari Belanda ke Bank Dunia. Namun, hampir semua anggotanya adalah mantan anggota IGGI.

Jika diperhatikan lebih seksama, transaksi utang piutang dengan berbagai skema itu sebenarnya juga sedang dibutuhkan oleh para kreditur. Pada saat itu sedang berlangsung upaya banyak negara maju merestukturisasi dan mengembangkan industri pengolahannya, yang telah dimulai pada era 1960-an. Indonesia menjadi salah satu negara yang sebenarnya sedang mereka butuhkan.

Para pemberi utang sedang membutuhkan suplai sumber energi dan bahan baku yang lebih banyak. Sebagian tahap produksi perlu dipindah ke negara lain, diantaranya karena pertimbangan efisiensi biaya, seperti tenaga kerja. Perluasan dan penetrasi pasar akan berlangsung hingga belasan tahun ke depan. [rif]