Scroll untuk baca artikel
Blog

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tiga)

Redaksi
×

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tiga)

Sebarkan artikel ini

Pelaku usaha swasta besar pun mencari sumber utang luar negeri. Para kreditur ternyata antusias. Selain karena memang ada banyak likuiditas internasional, swasta Indonesia dianggap akan mampu membayar. Ada sedikit cerita dibaliknya, yaitu para pelaku swasta besar adalah “kawan atau kawan dari kawan” para penguasa politik.

Dengan demikian, Indonesia menerima rezeki nomplok yang besar pada era 1974-1982. Satu dekade kemudian, rezeki berkurang banyak, namun masih diperoleh. Meski demikian, Indonesia masih terus berutang. Alasannya bukan lagi karena kelaparan, melainkan keinginan untuk menjadi kaya. Tidak hanya pemerintah, melainkan pihak swasta juga berutang kepada asing.

Beban Utang Ternyata Sangat Berat

Musim semi pada akhirnya berlalu. Rezeki nomplok minyak hanya sekitar satu dekade, ditambah satu dekade rezeki normal. Pada saat bersamaan, kebutuhan konsumsi domestik atas minyak meningkat pesat, sedangkan produksi perlahan turun. Cadangan minyak di perut bumi pun makin berkurang.

Bagaimana dengan hasil masih berutang banyak untuk membangun agar menjadi negara kaya dan lepas landas tadi. Bukankah seharusnya telah bisa dinikmati setelah satu dua dekade? Ternyata setelah dilaksanakan sebagai proyek pembangunan, sebagian cukup besarnya terbukti salah arah. Kurang berhasil membangun “kapasitas produksi” yang makin besar dan berkesinambungan. Tidak sesuai antara biaya dengan hasilnya.

Berkembang lah analisis tentang “kebocoran” dalam hal penggunaan utang luar negeri itu. Konon, sekitar 30 persennya masuk kantong para pihak, secara tidak sah. Sulit mengharapkan hasil opimal dari proyek yang sejak dalam permodalan telah dikorupsi sebesar itu.

Sementara itu, cukup banyak pihak swasta besar yang menggunakan dana utang secara lebih buruk. Bisnis yang mereka bangun tidak kokoh. Lebih mengandalkan keuntungan rente, banyak bergantung pada input dan teknologi pihak asing. Alih-alih menjadi pemain penting di luar negeri, di pasaran domestik saja mulai kewalahan dengan produk impor yang terus masuk kemudian.  

Ketika Soeharto lengser, hampir seluruh utang pemerintah merupakan utang luar negeri (ULN). Nilainya pada akhir tahun 1998 mencapai 66,33 miliar dolar. Anggaplah sedikit lebih rendah dari itu ketika Soeharto turun. ULN Pemerintah hanya 2,52 miliar dolar pada awal tahun 1970 dan menjadi 6,6 miliar dolar pada akhir tahun 1980.

Sementara itu, posisi ULN swasta kurang dari 1 miliar pada awal tahun 1970. Naik menjadi 14,3 miliar pada akhir tahun 1980, dan akhirnya menjadi USD 83,56 miliar dollar pada akhir tahun 1998. Lebih besar dari posisi utang pemerintah kala itu.