Orang yang terlalu baik, bisa diibaratkan sepotong kue manis. Pada gigitan pertama, kita akan begitu menikmatinya. Tetapi, pada gigitan-gigitan selanjutnya, kita akan merasa begitu mual karena rasa yang dihasilkan.
BARISAN.CO – Pada akhir bulan lalu, Apple TV+ baru saja merilis drama Korea yang didasarkan pada karya novel dari Min Jin Lee. Berlatar belakang Perang Dunia II, Koh Hansu (Lee Min-ho) datang ke Korea Selatan sebagai saudagar kaya dan berkuasa.
Singkat cerita, dia bertemu Teenage Sunja (Kim Min-ha), seorang yatim yang periang dan berani. Awalnya, Sunja melihat Hansu sebagai sosok yang jahat. Namun, setelah diselamatkan dari dua pria yang ingin memerkosanya, persepsinya pun berubah.
Nahas bagi Sunja karena begitu memercayai kebaikan Hansu. Dia tenggelam dalam romansa yang akhirnya justru menyakiti dirinya sendiri.
Setelah mengungkapkan, dirinya hamil, Hansu baru mengaku dia memiliki istri dan anak di Jepang. Hansu meminta agar Sunja membesarkan anak tersebut dan berjanji akan memberikan sokongan dana bagi keduanya.
Mendengar kata-kata itu, Sunja seperti dirajam. Ia begitu kesakitan. Bahkan, Hansu menyebut, Sunja sengaja mendekatinya karena tidak ada yang mau menikahi putri dari ayah yang disabilitas.
Sebagai perempuan, tentu saja kata-kata itu amat menyakitkan. Terlebih, keluar dari mulut seorang pria yang dia cintai. Awan gelap laksana menutupi jalannya. Dia tak menyangka sama sekali bahwa Hansu akan bersikap seperti itu.
Alasan Kita Perlu Sangsi dengan Orang yang Terlalu Baik
Psikolog mengatakan, ikatan emosional pertama yang kita kembangkan adalah kepercayaan. Sejak lahir, ini menjadi mekanisme bertahan hidup yang terprogram dari dalam.
Dalam kasus Sunja, secarik kisah ini mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya dengan seseorang yang terlalu baik. Sebab, bisa jadi ada maksud terselubung dari sikap orang tersebut.
Padahal, Hansu yang pertama kali mencoba mendekati Sunja. Akan tetapi, setelah menggegam kepercayaan Sunja, Hansu malah melepehkannya. Ibarat kata, sudah jatuh, tertimpa tangga, sudah tidak mau bertanggung jawab, keluarga Sunja dihina pula.
Orang yang terlalu baik, bisa diibaratkan sepotong kue yang sangat manis. Pada gigitan pertama, kita akan begitu menikmatinya. Tetapi, pada gigitan-gigitan selanjutnya, kita akan merasa begitu mual karena rasa yang dihasilkan.
Oleh karena itu, untuk membantu perspektif kita, tempatkan pikiran kebaikan dan kejujuran seharusnya sifat yang dimiliki oleh seseorang yang pantas mendapatkan kepercayaan. Orang baik pasti jujur, begitu juga sebaliknya. Sedangkan Hansu? Tak lebih dari bedebah.
Kebaikannya memiliki niatan lain. Dia juga tidak jujur. Tidak ada pengakuan bahwa ia memiliki keluarga sebelum Sunja memintanya untuk menikahinya sama sekali. Hansu juga tidak meminta maaf karena telah membohongi Sunja tentang statusnya.
Jika sejak awal, Sunja tahu bahwa Hansu akan menjadi badai dalam kehidupannya. Pasti, dia sama sekali tidak akan membiarkan pria berengsek seperti Hansu merasuk hati dan pikirannya.
Kepercayaan adalah pondasi utama dalam hubungan. Setelah kepercayaan itu hancur, maka tidak ada hubungan yang akan berjalan dengan semestinya.
Mengutip Well and Good, psikoterapis dan spesialis trauma bersertisikat, Susan Zinn menyampaikan, seseorang yang tidak mengakui kesalahannya adalah orang yang tidak layak untuk dipercaya. Pendiri Westside Counselling Center itu menambahkan, jika seseorang tidak menunjukkan penyesalan atau bertanggung jawab, akan sulit memercayainya di masa mendatang.
“Bahkan jika mereka menyakiti kita, mereka mungkin akan membuat narasinya sendiri dan tidak mendengarkan atau mengabaikan apa yang kita katakan,” kata Susan.
Ini terjadi dalam kisah di atas antara Sunja dan Hansu. Namun demikian, bukan berarti orang yang terlalu baik itu semuanya berengsek. Ada juga di antara mereka yang memang layak dipercaya. Sebagai manusia, kita hati perlu berhati-hati untuk tidak terjebak dalam emosi sesaat yang berakibat pada sakit hati.