BARISAN.CO – “Anggaran daerah dan peluang pemerintah daerah sangat besar dalam penerapan desentralisasi. Meskipun secara riil, implementasi desentralisasi di Indonesia belum cukup memperkuat demokrasi.” Kata Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini, Kamis (18/3).
Hal itu terjadi, menurut Didik Rachbini, sebab masih adanya celah yang selama ini diisi oleh berbagai problematik lokal seperti cukong, local strongman, oligarki, dan elite politik.
Desentralisasi menjadi kurang berjalan karena itu. Dalam sudut pandang politik-ekonomi, memang apa yang terjadi pada desentralisasi dewasa ini lebih mengisyaratkan kuatnya lobi politik antara pemerintah daerah dan anggota parlemen dalam menyusun anggaran daerah.
Sementara publik, yang mestinya juga punya hak dalam penyusunan anggaran daerah itu, justru jarang diberi kesempatan terlibat.
Semangat desentralisasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pun, dengan begitu, harus kalah dengan elite capture yang hanya menguntungkan segelintir unsur birokrasi di daerah.
Padahal, saripati desentralisasi adalah ‘internalising cost and benefit’ untuk people, serta bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya.
Seterusnya masih ditemukan kecenderungan di mana anggaran daerah tidak teralokasikan dengan transparan di beberapa daerah di Pulau Jawa. Ada pula indikasi bahwa anggaran dimainkan oleh para elite lokal untuk memenangkan Pilkada.
Senada dengan Didik, di kesempatan yang sama, Wakil Rektor 1 Universitas Diponegoro Budi Setiyono mengatakan belum optimalnya potensi desentralisasi. Keberagaman yang seharusnya muncul di tiap daerah tidak terlihat.
“Ada kecenderungan aktor kunci di pemerintah pusat tidak sepenuhnya memahami apa itu desentralisasi yang diatur dalam undang-undang. Peran partai politik amburadul, awur-awuran.” Katanya dalam webinar bertajuk Strengthening Local Regime to Support Indonesia’s Democratic Consolidation, yang diinisiasi LP3ES dan Undip tersebut.
Budi Setiyono menambahkan, permainan politik uang dalam kandidasi calon pejabat, pengambilan keputusan yang tidak diserahkan secara penuh kepada pemerintah lokal alih-alih diseragamkan dengan corak politik tingkat nasional, menjadi penyumbang masalah desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia masih merupakan reformasi yang belum selesai. Pelaksanaannya belum maksimal atau belum sesukses yang diharapkan, belum efisien melayani publik, serta belum memiliki karakter yang kuat.
Dalam hubungan desentralisasi dengan demokrasi, pemerintah daerah agaknya perlu lebih membuka akses lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Terutama—tapi tidak terbatas pada—politik penganggaran, pengambilan keputusan di daerah, maupun pelaksanaannya. []