Scroll untuk baca artikel
Fokus

Bagaimana Moral Jurnalis dalam Mewartakan Kemiskinan

Redaksi
×

Bagaimana Moral Jurnalis dalam Mewartakan Kemiskinan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COMedia massa memiliki tanggung jawab etis tentang bagaimana memberitakan status sosial masyarakat. Dan salah satu tema penting terkait status sosial itu adalah kemiskinan.

Mohammad Hatta pernah memberi satu titik terang soal kemiskinan, bahwa, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.”

Apa yang disampaikan Hatta tampaknya harus dipikirkan baik-baik oleh jurnalis. Sering kita dengar bahwa jurnalis memainkan peranan sebagai kanal bagi masyarakat yang sedang bergelut dengan ketidakberdayaannya maupun kemiskinan yang dialaminya.

Maka benar bahwa media massa berkelindan dengan kemiskinan. Dan itu sebetulnya bukan pengetahuan baru. Jurnalisme memang—idealnya—adalah kata lain dari keresahan melihat kemiskinan di sekitar.

Di Indonesia, pemahaman itu sekurang-kurangnya telah dimulai sejak kebangkitan pers nasional di awal abad ke-20. Bung Karno, misalnya, adalah jurnalis yang menjadi langganan pemanggilan polisi Hindia Belanda gara-gara banyak ungkapan kritisnya di media Fikiran Rakjat (1930) tentang kemiskinan dan kondisi politik pribumi.

Apa yang terjadi pada Bung Karno masih terjadi hari ini. Mungkin soal pemanggilan polisi tidak lagi bisa dilakukan sewenang-wenang: tapi selebihnya sama. Masih banyak jurnalis dan media yang memproduksi informasi penting terkait kemiskinan yang diderita masyarakat.

Bahkan, beberapa media makin meneguhkan fungsinya sebagai kanal informasi bagi stakeholders potensial, seperti pemerintah, badan usaha, maupun lembaga untuk menanggulangi kemiskinan.

Peka Terhadap Kemiskinan

Menurut perspektif sosiologi, kemiskinan merupakan suatu keadaan yang terjadi pada seseorang kondisi ia tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan dalam sebuah kelompok sosial.

Orang miskin, dalam pada itu, dianggap tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, ataupun fisiknya dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini merupakan masalah kehidupan manusia yang rentan terjadi.

Umumnya, masyarakat yang memiliki ekonomi tinggi akan mendapatkan status/kedudukan yang baik sedangkan masyarakat yang memiliki perekonomian buruk/miskin akan mendapatkan status sosial yang rendah.

Pembedaan status sosial berdasar nilai ekonomi seseorang ini, sedikit banyak mirip dengan sistem kasta yang pernah ada ratusan tahun lalu. Masyarakat dikelompokkan berdasarkan perbedaan kelas kekayaan, hak, profesi, serta kedudukan.

Kenapa hal-hal itu penting diucapkan? Pemahaman tentang status sosial dan kemiskinan yang baik, adalah modal utama untuk membentuk keberpihakan dan moral jurnalis kepada orang-orang tidak berdaya. Seperti dilakukan Bung Karno. Seperti diucapkan Bung Hatta.

Namun sayangnya, hari ini, seperti kita semua tahu, jumlah jurnalis buruk mulai lebih banyak mengalahkan jurnalis bermoral. Jurnalis buruk adalah mereka yang menulis berita dengan buruk, memberi judul-judul yang buruk, dan mengambil sudut pandang yang juga buruk.

Alih-alih mendekatkan diri pada isu-isu penting terkait kemiskinan, mereka lebih tertarik kepada isu yang bombastis di pembahasan tapi kosong di substansi.

Masih ingat dengan kasus Nora Alexandra? Sebuah media pernah memberitakan dirinya dengan judul berikut: “Sudah berbulan-bulan pisah dari Jerinx, kehidupan seks Nora Alexandra dipertanyakan netizen. Duh terus apa jawaban Nora?”.

Nora kemudian menyampaikan protes secara publik. Ia tidak terima dan memang berhak merasa demikian. Memberitakan kehidupan seks istri seorang yang mendekam di penjara tentu saja tidak beres secara moral. Lebih-lebih, jurnalis yang menulisnya tak memberi konfirmasi. Dan, ini yang paling penting: tulisan itu buruk dan tidak bermanfaat.