Scroll untuk baca artikel
Fokus

Sisik-Melik Meningkatnya Ketimpangan

Redaksi
×

Sisik-Melik Meningkatnya Ketimpangan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Angka kemiskinan di Indonesia meningkat selama pandemi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin September 2020 adalah 27,55 juta jiwa. Sementara tahun sebelumnya 24,79 juta jiwa.

“Biasanya turun, sekarang naik,” ungkap Ekonom Insititut Harkat Negeri (IHN) Awalil Rizky dalam Mimbar Virtual dengan tema “Dampak Pandemi Terhadap Kemiskinan”, Kamis (11/3/2021).

Lumrah jika penduduk miskin bertambah, sebab pandemi memang berdampak pada semua sektor, khususnya ekonomi. Menjelang akhir tahun lalu, Indonesia resmi resesi lantaran pertumbuhan ekonomi di kuartal III mengalami kontraksi.

Banyak usaha yang gulung tikar. Jutaan orang pun menganggur. Mereka yang biasa bekerja di kota, terpaksa pulang ke desa. Di sana mereka beralih profesi menjadi buruh tani. Terbukti adanya kenaikan pekerja di sektor pertanian sebesar 5,92 persen. Padahal sektor pertanian juga terkena imbasnya.

Awalil Rizky memaparkan data BPS 2020, hampir semua separuh penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Jumlahnya mencapai 46,3 persen. Lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya, yang jumlahnya hanya 25,03 persen.

Pemerintah sendiri sudah berusaha keras untuk menekan laju kemiskinan. Triliunan dana digelontorkan dan berbagai program dibuat. Bahkan sasarannya melampaui jumlah orang miskin. Tapi kenapa tidak berpengaruh apa-apa?

Penyebabnya, karena program pemerintah yang kurang tepat sasaran. Basis datanya tidak kuat dan sistem kontrolnya belum baik. Sebagai contoh, pada program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Indonesia Pintar (PIP), dan Keluarga Harapan, penerimanya tak hanya orang miskin saja, tapi juga orang yang tergolong mampu.

“Untuk mengatasi itu harus ada kejelasan data,” tegas Awalil.

Jurang Si Kaya dan Si Miskin Melebar

Pandemi tak hanya berdampak pada kemiskinan tapi juga ketimpangan. Rasio gini nasional pada September 2020 mencapai 0,385. Sementara sebelum pandemi, rasio gini nasional sebesar 0,380.

Rasio gini adalah tingkat ketimpangan penduduk kaya dan miskin di Indonesia yang biasa digunakan BPS. Namun menurut Awalil, gini rasio yang sering dikutip pemerintah ini menggunakan indikator pengeluaran penduduk, bukan data pendapatan atau kekayaan.

“Harusnya semua dipertimbangkan,” kata Awalil.

“Dalam hal distribusi pendapatan, data bank dunia juga mengindikasikan tidak adanya perbaikan yang berarti. Porsi dari 40 persen penduduk terbawah tak beranjak dari kisaran 17,5 persen. Salah satu penyebabnya adalah jumlah pemilik surat berharga (terutama saham) yang meningkat pesat. Kelompok terbawah nyaris tidak memiliki aset yang semacam ini,” lanjutnya.

Sayang, BPS dan lembaga resmi pemerintah Indonesia tidak menyajikan data tentang kekayaan orang per orang kepada publik. Berbagai lembaga internasional biasanya menghitung dan memublikasikannya sebagai perbandingan antarnegara.

Yang paling sering dikutip adalah majalah Forbes dan Credit Suisse, suatu lembaga keuangan terkemuka.

Credit Suisse pernah menyajikan data tentang distribusi kekayaan dari tiap negara menurut desil penduduk. Tiap 10 persen kelompok penduduk memiliki beberapa persen dari total kekayaan penduduk.

Pada tahun 2009, kekayaan kelompok desil 10 (10 persen) teratas sebesar 74,1 persen dari total kekayaan penduduk Indonesia. Padahal pada tahun 2010 masih sebesar 66,8 persen. Porsinya meningkat.

Jika dilihat dari 30 persen kelompok teratas (desil 8 sampai dengan 10), maka kekayaannya mencapai 85,8 persen dari total kekayaan penduduk Indonesia. Padahal, pada tahun 2010 masih sebesar 79,8 persen.