SEPENDAPAT, objektifikasi menempati tangga tersendiri dari sekian gagasan Kuntowijoyo. Dia berulang kali menandaskan bahwa dengan objektifikasi, niscaya umat Islam terhindar dari sekularisasi dan dominasi.
Mengingat, Islam adalah agama mayoritas di negeri ini, sehingga berpotensi mendominasi. Mengingat, umat Islam terkurung dalam peradaban materialis, sehingga terbuka untuk terjebak arus sekularisasi.
Objektifikasi adalah perbuatan rasional nilai yang diwujudkan ke dalam tindakan rasional. Memang, sama-sama berangkat dari internalisasi, tapi tujuan objektifikasi ke luar, sementara eksternalisasi ke dalam, kepada sesama muslim.
Dari paparan itu, kehadiran partai-partai Islam patut dikritisi. Partai adalah gejala objektif, sebagai penyalur aspirasi, sebagai perantara kepentingan. Maka, hanya kepada partai yang sanggup memainkan politik cerdaslah, umat mengarahkan perhatian. Sebab, hubungan partai dan umat sejatinya hanya bersifat instrumental dan sementara.
Instrumental, artinya kalau partai tidak lagi dapat menampung aspirasi politik umat Islam, umat bisa meninggalkannya. Sementara, artinya kesetiaan umat hanya untuk satu pemilu dan kemudian umat mengadakan evaluasi.
Sehingga, pola-pola lama seperti adanya basis-basis pemilih di daerah tertentu untuk partai tertentu, bahwa umat diharuskan berpihak pada partai tersebut, adalah sisa-sisa tindakan irasional. Tidak mendinamiskan masyarakat. Tidak mencerdaskan umat.
Agama, apa pun itu termasuk Islam, adalah kekuatan sejarah yang lebih langgeng ketimbang negara dan partai. Maka, agamalah yang berhak menentukan partai sebagai instrumen, tidak sebaliknya, partai yang memanipulasi agama, partai menggadaikan agama, dan partai sekadar memungut suara umat.
Sekali lagi, partai adalah alat, oleh karenanya tidak sepatutnya menjadikan agama, yang dari sononya bersifat awet, sebagai penggelembung suara semata.
Dengan demikian, para politisi muslim seyogianya paham, bahwa keberadaan partai, sebagaimana institusi negara, tidak untuk mengeksternalisasi Islam. Islam adalah rahmat, bukan ancaman. Partai bukan tempat eksternalisasi, melainkan objektifikasi. Partai bukan sarana “dakwah”.
Nah, kebutuhan mendesak kini untuk mendukung proyek objektifikasi, Pak Kunto menyarankan perlu ada perubahan dalam cara memandang kenyataan. Pertama, digantikannya conspiration theory dengan factual analysis.
Teori persekongkolan akibat pengalaman pahit masa lalu, saat periode marjinalisasi Islam (1970-1990), harus cepat-cepat dienyahkan. Umat harus menyingkirkan jauh-jauh kecurigaan macam: “Siapa berada di belakangnya? Siapa yang dituju? Arahnya ke mana? Sekarang begini, besok pasti itu! Dan akal-akalan apa lagi ini!”
Teori persekongkolan adalah su’uzhan, dan diganti dengan analisis faktual, husnuzhan. Analisis faktual adalah pengamatan rasional atas fenomena, tidak berdasar emosi kecurigaan. Analisis faktual adalah berpikir objektif, upaya objektifikasi.
Kedua, digantikannya jihad psyche (semangat jihad) dengan falah psyche (semangat kesejahteraan). Memang, istilah jihad adalah sebuah kebajikan yang menjadi cita umat Islam. Dan salah kaprah di umat, jihad berarti jihad fisik.
Padahal, arti jihad yang lebih halus adalah bersungguh-sungguh. Maka, perlu ada perubahan, dari semangat jihad menjadi semangat kesejahteraan, haya ‘alal falah.
Istilah falah, sebagaimana papar Kuntowijoyo, selalu dikumandangkan lewat azan, yang berarti kejayaan, sukses, keselamatan, dan kesejahteraan. Falah, dari kata falaha, arti sebenarnya adalah membajak, mengolah tanah, dan menanam. Gambaran seorang petani yang bekerja keras untuk meraih kesejahteraan.
Gambaran mengenai semangat umat Islam layaknya semangat petani yang sedang bekerja di ladang, bukan prajurit yang berjuang di medan perang.
Syahdan, factual analysis dan falah psyche, dua strategi objektifikasi. Sehingga, keberadaan partai politik (Islam) yang berbasis objektifikasi, dengan dosis yang pas akan berguna untuk kesehatan umat, dan aman dikonsumsi.
Begitu.
Diskusi tentang post ini