Awalil Rizky
Ekonom
Ada “utang tersembunyi” (hidden debt) sekitar US$385 miliar dari Cina kepada sejumlah negara menurut rilis hasil riset AidData beberapa waktu lalu. Riset dilakukan atas data tahun 2000-2017. Fakta temuan tersebut dinilai sebagai bagian dari strategi pengembangan Belt and Road Initiative (BRI) dari Cina.
Dianggap tersembunyi karena tidak tampak sebagai utang pemerintah negara debitur, bahkan kurang terdeteksi dalam Sistem Pelaporan Debitur Bank Dunia.
Utang dimaksud diberikan pihak Cina tidak secara langsung kepada pemerintah, melainkan melalui beberapa institusi dalam negara pengutang. Antara lain melalui perusahaan negara, bank milik negara, Special Purpose Vehicle, perusahaan patungan dan sektor swasta.
Indonesia tersebut sebagai salah satu negara dalam daftar. Indonesia dianggap memiliki utang tersembunyi sebesar US$17,28 miliar pada tahun 2017. Bahkan, riset AidData mengklaim telah mencermati sekitar 257 proyek yang terkait pendanaan dari Cina di Indonesia.
Salah satu yang disebut adalah the Jakarta-Bandung High Speed Rail (HSR) Project, yang di Indonesia lebih populer sebagai Proyek Kereta Api Cepat Cina. Pada Mei 2017, China Development Bank (CDB) telah menyetujui akan memberi utang sebesar US$3,97 miliar untuk proyek tersebut. Sebesar US$2,38 miliar dalam denominasi dolar Amerika, dan sebesar US$1,59 miliar dalam denominasi Renmibi Cina.
Utang dari CDB kepada konsorsium Kereta Api Cina dianggap tersembunyi dalam artian bukan tercatat sebagai utang Pemerintah Indonesia.
Jika dicermati laporannya, definisi utang tersembunyi dari Cina untuk Indonesia yang dimaksud AidData sebenarnya memang bukan berarti tidak tersedia informasi bagi publik.
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia merilis posisi dan profil utang luar negeri (ULN) tiap bulan melalui Statistik Utang Luar Negeri (SULNI).
SULNI menyajikan data ULN Indonesia sebesar US$415,63 miliar pada akhir Juni 2021. Terdiri dari ULN Pemerintah sebesar US$205,03 miliar, ULN Bank Indonesia sebesar US$2,84 miliar, dan ULN Swasta sebesar US$207,76 miliar.
Profil pemberi utang (kreditur) disajikan untuk keseluruhan ULN. Tersedia pula informasinya untuk ULN Pemerintah dan untuk ULN swasta. Salah satunya berupa negara kreditur. Dalam hal dari Cina, tercatat kepada Pemerintah sebesar US$1,73 miliar dan kepada swasta sebesar US$19,62 miliar. Tampak memang lebih banyak kepada pihak swasta di Indonesia.
ULN dari Cina kepada swasta Indonesia mengalami kenaikan sangat pesat selama belasan tahun terakhir. Posisi akhir Juni 2021 tersebut meningkat lebih dari 33 kali lipat dibanding akhir 2007 yang sebesar US$594 juta. Pada kurun waktu sama, total ULN swasta hanya meningkat 3,43 kali lipat.
Posisi ULN swasta yang berasal dari Cina pun melesat ke urutan ketiga terbanyak. Hanya di bawah Singapura dan Amerika Serikat. Namun, Cina tak tertandingi dalam laju kenaikan sejak akhir tahun 2007.
Dapat ditambahkan, negara kreditur lain yang juga tercatat naik pesat adalah Hongkong. Posisi akhir Juni 2021 mencapai US$15,09 miliar atau meningkat lima kali lipat dibanding akhir 2007. Posisinya di urutan kelima terbesar. SULNI membedakan Hongkong dengan Cina (Tiongkok).
Perlu diketahui bahwa ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang dikategorikan sebagai ULN swasta dalam SULNI. Posisi ULN BUMN sebesar US$60,5 miliar atau 29,23% dari total Swasta pada akhir Juni 2021. Porsinya cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Masih sebesar 6,51% pada akhir tahun 2007 dan 18,77% pada akhir 2014.
Sayangnya, SULNI tidak menyajikan data rincian kreditur bagi ULN kelompok BUMN. Begitu pula bagi kelompok swasta nonBUMN seperti: swasta asing, swasta campuran, dan swasta nasional. Padahal riset AidData di atas mensinyalir adanya utang dari Cina kepada berbagai pihak di Indonesia yang terkait dengan strategi pengembangan Belt and Road Initiative (BRI).
Transaksi modal finansial antarnegara sebenarnya tidak cukup dilihat dalam aspek utang piutang saja, melainkan juga dalam hal penanaman modal. Beberapa instrumen penanaman modal asing (PMA) memiliki karakteristik seperti utang. Tentu saja butuh pemeriksaan lebih lanjut atas hal teknis ini pada masing-masing kasus.
Bagaimanapun, arus PMA suatu negara ke negara lain pada umumnya beriringan dengan arus utang. Sederhananya, sebagian utang memang diberikan pada korporasi atau proyek yang kait-berkait. Sebagaimana contoh proyek kereta cepat Cina di atas, ada skema utang dan ada skema PMA.
Dalam hal arus PMA ke Indonesia, Cina tercatat mengalami kenaikan paling signifikan. Dari urutan di luar sepuluh besar pada tahun 2014, menjadi negara asal PMA terbesar kedua selama tahun 2019 dan 2020. Hanya di bawah Singapura, dan telah melampaui Jepang selama dua tahun itu.
PMA dari Hongkong pun tercatat sebagai urutan ketiga pada tahun 2020. Melampaui arus PMA dari Jepang yang di masa lalu menduduki urutan satu atau dua teratas.
Arus utang dan penanaman modal biasanya terkait pula dengan transaksi ekspor impor barang. Sebagai contoh, sebagian impor berhubungan dengan bahan baku atau barang modal bagi suatu proyek. Sedangkan proyek tersebut merupakan swasta asing atau swasta campuran dan memiliki hubungan utang piutang dengan negara bersangkutan. Hubungan bisa pula dalam hal ekspor atas produksi suatu proyek.
Sebagaimana umum diketahui, porsi ekspor Indonesia terbesar adalah ke Cina. Pada tahun 2020, mencapai 19,46% dari total ekspor. Bahkan, porsi impor dari Cina mencapai 28% dari total impor. Kedua porsi tersebut cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir.
Dengan uraian di atas, penulis tidak bermaksud terlibat dalam perbincangan kontroversial soal dominasi bahkan “ancaman Cina”. Analisisnya lebih kepada sinyalemen adanya “utang tersembunyi” dari Cina ke Indonesia.
Dari besaran angka dalam uraian di atas dibandingkan dengan informasi AidData, maka sebenarnya transaksi modal finansial “telah dicatat” dalam statistik resmi. Terutama pada statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) dan sebagian lagi dalam data penanaman modal asing.
Informasi dari AidData mestinya mendorong otoritas ekonomi untuk memberi penjelasan yang memadai kepada publik, agar tidak berkembang menjadi berbagai dugaan atau spekulasi. Terutama sekali terkait dengan utang luar negeri BUMN. Terlebih informasi tentang BUMN yang memiliki proyek kerjasama atau transaksi bernilai besar dengan pihak Cina.
Kita tidak mengharapkan adanya berita buruk yang mengejutkan di masa mendatang. Semisal ada beberapa BUMN yang gagal bayar utang ataupun terpaksa dijual merugi. [dmr]
Diskusi tentang post ini