BARISAN.CO – Masihkah ingat dengan berita pemerkosaan seorang ayah kepada ketiga putrinya, Jum’at (8/10/2021) lalu? Sebelum Barisan.co menerbitkannya, kasus ini sebenarnya telah viral di media sosial usai Project Multatuli mengunggahnya pada 6 Oktober 2021.
Dalam berita tersebut, seorang ibu melaporkan ketiga anak perempuannya diperkosa oleh mantan suaminya. Meski sudah berpisah, keduanya masih terlibat dalam pengasuhan bersama. Mantan suaminya itu adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan biasanya menjemput anak-anaknya saat pulang sekolah.
Namun suatu hari, anak-anaknya tidak mau bertemu dengan ayahnya dan berkata “Ayah Jahat”. Ketiga anaknya itu pun mengeluhkan sakit di kemaluannya saat Buang Air Kecil dan Buang Air Besar. Ia pun curiga dan bertanya kepada anaknya, apa yang sebenarnya terjadi. Sang anak dengan terbata-bata berkata jujur pada sang ibu, jika ayah mereka telah memperkosanya.
Lydia nama perempuan itu pergi ke Pusat Pelayananan Terpadu Pemberdayaan dan Anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ia juga melaporkannya ke kepolisian setempat. Namun, kedua lembaga tersebut tidak bisa membantunya. Pihak kepolisian bahkan menghentikan proses penyelidikan meski bukti-bukti sudah lengkap.
Begitulah potret Indonesia kini. Banyak korban- korban kekerasan seksual yang sulit mendapatkan keadilan. Padahal trauma yang ditimbulkan akan berlangsung seumur hidup. Terlebih jika itu terjadi pada perempuan yang berpeluang memikul beban ganda, dari hamil hingga dikucilkan masyarakat.
Meski Indonesia memiliki UU terkait penghapusan kekerasan seksual seperti Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, namun aturan tersebut belum fokus pada hak dan pemulihan psikologis korban.
Itu mengapa banyak pihak yang berjuang agar Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia (RUU PKS) segera disahkan. Nyatanya, sampai hari ini perjuangan ini belum juga membuahkan hasil.
Sejumlah orang kemudian berinisiatif menyuarakan kekerasan seksual dengan berbagai cara, salah satunya dengan membuat karya sinematografi. Berikut 4 film Indonesia yang menggambarkan dinamika korban kekerasan seksual.
1. Penyalin Cahaya
“Penyalin Cahaya” tengah diperbincangkan banyak orang hari ini. Pasalnya, selain masuk pada festival film bergengsi di Asia, Busan International Film Festival 2021, “Penyalin Cahaya” juga menyabet banyak nominasi di Festival Film Indonesia 2021.
Film karya Wregas Bhanuteja ini bercerita tentang perempuan bernama Sur. Ia pergi ke pesta untuk merayakan pencapaian Mata Hari, grup teater universitas tempatnya menjadi sukarelawan sebagai perancang website. Ia dipaksa minum alkohol setelah terkena sinar laser.
Keesokan harinya, ia kehilangan beasiswanya dan diusir keluarganya lantaran swafoto mabuknya beredar. Sur melihat ada kejanggalan dari kejadian ini dan meminta bantuan teman kecilnya yang bekerja sebagai tukang fotokopi.
Menurut Wregas, “Penyalin Cahaya” merupakan potret kehidupan penyintas kekerasan seksual yang suaranya terus dibungkam. Mereka kerap tidak mendapatkan keadilan dan memendam kisahnya lantaran orang – orang di sekitarnya tidak memberi dukungan. Tak sedikit penyintas kekerasan seksual mendapat cibiran dan cemooh dari masyarakat, padahal itu bukan kondisi yang ia inginkan.
Dalam pembuatan film ini, Wregas melibatkan sejumlah aktivis anti – kekerasan seksual di antaranya adalah Hannah Al Rashid, aktris Indonesia yang juga pernah mengalami pelecehan seksual.
2. 24 Steps of May