Bencana yang terjadi di Los Angeles adalah peringatan nyata bagi umat manusia, bahwa ketidakseimbangan alam dan ketidakpedulian terhadap sesama akan membawa kita pada kehancuran.
Oleh: Adib Achmadi
(Praktisi Pendidikan)
KENCANG angin itu tak biasa. Kobaran api itu juga datang tak biasa. Keduanya bertemu dengan daya hancur luar biasa.
Ada ribu bangunan lumat hangus terbakar dan rata dengan tanah. Ada puluh ribu manusia pergi mengungsi. Bencana mengerikan itu telah meluluhlantakkan harta benda dan segala kemegahan manusia dalam waktu sekejap.
Setelah lebih sepekan, keadaan masih belum baik-baik saja. Segala kemungkinan masih bisa terjadi. Gelombang api masih belum bisa dipadamkan meski segala kecanggihan perangkat teknologi yang dimiliki manusia telah dikerahkan. Bahkan konon, area terdampak makin meluas.
Apapun yang terjadi, Aku sampaikan rasa dukaku untukmu buat seluruh warga terdampak korban bencana. Teriring doa, semoga situasi akan segera membaik. Bencana ini semoga segera berakhir.
Bencana di Los Angles itu hanya satu babak cerita. Peristiwa itu bisa terjadi dimana saja dan kapan saja dalam bermacam rupa. Alam sedang dalam ketidakseimbangan. Sinyalnya makin nyata buat semua penghuni bumi.
Berbagai peringatan telah diserukan. Bahwa perubahan iklim yang dipicu oleh kenaikan suhu di muka bumi yang tak tertahankan, akan memicu situasi ekstrem.
Manusia akan panen bencana, mulai kekeringan yang panjang, banjir bah dimusim hujan, naiknya permukaan laut yang akan tenggelamkan sebagian daratan atau pulau, wabah penyakit, krisis air dan pangan, kebakaran hutan, dan serangkaian daftar panjang bencana lainya.
Ancaman bencana itu bukan lagi prediksi di atas kertas para ilmuan. Di berbagai tempat di belahan bumi, cerita bencana ekstrem menjadi hal biasa. Tak ada lagi pembeda, antara si kaya dan si miskin, antara negara maju atau terbelakang.
Semua sedang berada dalam ancaman setiap saat. Bayang bencana itu sedang bergelayut di atas seluruh permukaan bumi tanpa kecuali. Manusia seperti sedang menanti antrean yang akan datang setiap saat.
Tapi manusia pula yang memulai semua itu. Nafsu dan tangan-tangan keserakahannya penyebab semua ini terjadi.
Manusia tak mau bersahabat dengan alam. Ia tak mau menyatu dengan alam sebagai satu kesatuan. Posisi alam di buat berjarak dan menjadi obyek. Diekspoitasi alam itu dengan penuh kerakusan demi keuntungan dan kepuasan.
Manusia tak peduli, bahwa memotong sebatang pohon saja tanpa alasan akan memberi dampak pada alam. Apalagi ribu atau juta pohon di tebang.
Perut manusia tak pernah kenyang. Kelaparannya membuat ia makan apa saja, entah itu timah, emas, nikel, minyak, aspal, hutan atau apapun. Semua seperti tak cukup dikunyah sendiri, meski bumi ini bisa mencukupi seluruh penghuninya.
Manusia telah berbuat culas dan tak adil terhadap alam.
Di tengah kehancuran telah nyata mengancam habitat manusia, kerakusan itu tak kunjung berhenti. Seruan penyelematan tak dihiraukan.
Forum-forum dunia untuk keselamatan bersama tak memberi efek apapun, dan kenaikan suhu permukaan bumi terus bergerak naik, bahkan melampoi ambang batas toleransi.
Saat ini, dahsyatnya bencana bukan berarti alam sedang marah. Itu hanya gerak alamiah alam mencari titik keseimbangan. Antara derita dan nafsu manusia sedang bertemu pada situasi yang mengerikan.
Tapi manusia tak hanya tidak adil terhadap alam. Ia juga tak adil terhadap sesamanya. Ketidakadilan itu nampak terang dari jurang antara si kaya dan si miskin, antara negara maju dan terbelakang yang terus melebar.
Manusia kehilangan keutuhan dan kepedulian antara satu dengan lainnya. Manusia kehilangan emphati antar sesamanya.
Puncak buruknya peradaban manusia saat ini adalah sikap manusia terhadap derita Palestina. Dunia seperti diam dan tangannya lemah untuk berbuat sesuatu, seperti mereka yang bertumbangan di sana bukan manusia.