Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Ekonom IHN: Imbas e-KTP Dikorupsi, Database Berantakan dan Bansos Salah Sasaran

Redaksi
×

Ekonom IHN: Imbas e-KTP Dikorupsi, Database Berantakan dan Bansos Salah Sasaran

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pemerintah menganggarkan dana yang begitu besar untuk bantuan sosial, namun tak jarang bantuan tersebut tidak tepat sasaran. Hal ini terlihat kala pandemi saat ini, masih adanya warga mampu yang mendapatkan bansos sedangkan warga miskin yang malah tidak mendapatkan bansos.

Ekonom Institut Harkat Negeri (IHN) Awalil Rizky dalam Mimbar Virtual edisi ke 33 dengan tema “Dampak Pandemi Terhadap Kemiskinan” yang diadakan oleh Barisanco pada Kamis (11/3/2021) menyampaikan bahwa salah satu masalah yang terjadi adalah tidak benar-benar adanya data orang miskin.

“Nah dulu pemerintah pusat sempat menindaklanjuti bekerjasama dengan BPS mencari tahu yang benar-benar miskin 40% terbawah itu siapa saja baik by address, dimana alamatnya bahkan datanya lebih lengkap. Namanya Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Didapatlah tahun 2011 database tentang 40 persen orang terbawah. Kurang lebih 92 apa 95 juta orang terdiri dari beberapa keluarga itu 25 juta keluarga. Keren kan? Nah itu maunya TNP2K yang pada waktu itu bisa dikatakan semi sensus tahun untuk kemiskinan. Di back-up oleh BPS dengan cara itu lalu tapi ada update. Update-nya open. Taruh di internet sehingga masyarakat ke, lurah ke, RT ke, orang itu, temennya orang miskin kalo orang miskinnya itu ga bisa internetan kan? Gak, tetangga saya itu kaya, ga masuk, itu miskin banget belum masuk. Nah ter-update, tentu ada sistemnya,” papar Awalil dalam sesi tanya jawab.

Awalil menyayangkan karena program tersebut berhenti. Ia pun berandai-andai jika program di tahun 2011 itu berjalan dengan baik, Indonesia tidak memiliki masalah mengenai data.

“Dan pada saat yang bersamaan kementerian sosial itu setiap menteri setiap tahun buat Peraturan Menteri Keuangan utusan menyatakan berapa jumlah penduduk miskin. Penduduk fakir miskin ada programnya sampai 40 persen itu. disebut dengan angka, lho. Misalnya 90 juta sampai angka ujung orang. Sok tahu toh berarti? Tanda petik. Ya artinya kan mereka yakin banget. Kalau BPS kan masih pakai koma begini. Ini gak seolah-olah kan udah pasti nih orang-orang, itu ternyata tidak teruji,” kata Awalil.

Ekonom yang dikenal lugas tersebut menambahkan setelah adanya pandemi ini barulah terlihat jika datanya tidak presisi.

“Jadi, itu memang satu masalah. Tentu kita juga harus mengakui bahwa disini. Jangan menyalahkan semuanya pemerintah tapi proses di bawah sendiri kita sudah tahu. Saya sendiri juga merasakan nih orang-orang pada berebut mendapatkan bansos. Tetapi disitulah gunanya sistem dan kebijakan untuk mengeleminasi orang-orang yang pengen dapat, ga layak dapat, dan seterusnya atau para aparat pemerintahan yang ingin punya tujuan tertentu. Tidak harus korupsi ya. Konstituennya. Nah itu kan tidak benar juga. Ini harusnya sudah mulai memastikan bahwa kita sebagai sebuah negara harus persis tahu data penduduk kita,” tutur Awalil.

Awalil memberikan gambaran jika dalam film Hollywood atau Korea, untuk mendapatkan informasi seseorang, hanya tinggal ketik.

 “Apalagi kalau kita di dalam pemerintahan atau di kepolisian tahu dia sudah pernah ditilang berapa kali saja tau. Jadi, saya ingin mengajak semua pendengar ini saya termasuk orang yang berpendapat seemosi apapun, terhadap korupsi, kita juga harus mulai 1-2 langkah ke belakang melihat persoalannya. Bahwa salah satu masalah paling serius kita adalah data. Tidak hanya soal kemiskinan. Dan itu tidak bisa ditimpakan semuanya kepada BPS. Saya menilai BPS sudah memulai dengan cukup baik data kemiskinan ini, itu kick off lah. Selanjutnya Pemerintah Daerah, TNP2K, serta pemerintah pusat harus menindaklanjutinya,” ujar Awalil.