Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Ekonom: Utang Sri Lanka, Puncak Gunung Es Masalah

Redaksi
×

Ekonom: Utang Sri Lanka, Puncak Gunung Es Masalah

Sebarkan artikel ini

Ekonom Awalil Rizky menyebut, utang Sri Lanka itu puncak gunung es masalah.

BARISAN.CO – Krisis keuangan terjadi oleh banyak faktor penyebab. Ini juga yang saat ini dialami oleh Sri Lanka.

Misalnya saja, saat menurun drastisnya nilai rupee Sri Lanka telah membuat impor kebutuhan pokok menjadi jauh lebih mahal. Selain itu, pemerintah juga tergesa-gesa mencari bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) tanpa mengadopsi kebijakan ekonomi makro yang tepat serta cenderung ceroboh hingga memperburuk krisis.

Terakhir, uang kas negara dihabiskan untuk proyek yang tidak produktif seperti Bandara Internasional Mattala Rajapaksa. Bandara Internasional tersepi di dunia. Akibatnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai ekonomi di negara itu sebagai ekonomi defisit kembar karena kekurangan anggaran berlaku seiring dengan defisit transaksi berjalan.

Sejak 1950-an, Sri Lanka telah menghadapi masalah neraca pembayaran dan mengatasi kesenjangan antara impor dan ekspor melalui dolar yang diperoleh dari pinjaman, pariwisata, dan pengiriman uang para pekerja asing.

Terpilihnya Gotabaya Rajapaksa sebagai presiden justru semakin memperburuk situasi ekonomi di Sri Lanka. Gotabaya memangkas pajak besar-besaran yang membuat negara tersebut kehilangan pendapatan.

Itu menyebabkan peringkat kredit Sri Lanka turun dan kesulitan meminjam dari pasar modal internasional. Pandemi juga membuat pendapatan dari turis asing serta remitansi anjlok.

Sepanjang tahun ini, inflasi di Sri Lanka meroket hampir 55 persen. Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P. Nandalal Weerasinghe menyebut, inflasi bisa melonjak hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.

Krisis ekonomi tersebut mendorong serangkaian protes mulai akhir 31 Maret lalu. Kediaman presiden diserbu dan kediaman PM Sri Lanka dibakar massa. Sri Lanka juga gagal membayar utang untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Mengutip Guardian, Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran sekitar US$7 miliar pinjaman internasional yang jatuh tempo tahun ini, dari total tumpukan utang luang negeri (ULN) senilai US$51 miliar. Kementerian Keuangan Sri Lanka menjelaskan, cadangan devisa menipis hanya sebesar US$25 juta.

Menurut ekonom, Awalil Rizky untuk kasus Sri Lanka harus menengok konteks sejarah besar India, kultural, kesukuan, dan aspek antropologis lainnya.

“Bukan semata keuangan kekinian. Secara SDM dan SDA mereka minim. Secara antropologis dan sosiologis mereka enggak pede,” kata Awalil kepada Barisanco pada Selasa (12/7/2022).

Awalil menambahkan, utang Sri Lanka itu puncak gunung es masalah. Untuk itu, Awalil menyarankan agar Sri Lanka menyatakan utang tidak dicicil dan tak bayar bunga alias minta restrukturisasi.

“Selain itu, cetak duit bisa fisik berupa duit di rekening pemerintah untuk bantuan sosial. Minta bantuan juga kepada negara-negara Barat dan lembaga internasional untuk kemanusiaan,”ujarnya.

Dia juga melanjutkan, pemerintah Sri Lanka mengajak semua rakyatnya bekerja bersama dan mau menderita sebentar.

“Dimulai dan dicontohkan oleh orang-orang kaya dan pejabatnya,” jelas Awalil. [rif]