Scroll untuk baca artikel
Blog

Ellya dalam Lakon Monolog “Bidadari Kesepian”

Redaksi
×

Ellya dalam Lakon Monolog “Bidadari Kesepian”

Sebarkan artikel ini

PEMAIN teater wanita yang pernah saya kagumi ialah Renny Djajusman. Sekitar 1975-an dia pernah memerankan tokoh utama dalam lakon “Mentang-Mentang dari New York” gubahan Norca Massardi. Permainannya sungguh menjadi magnit bagi penonton.

Dia benar-benar mampu menghidupkan dan memainkan watak kompleks wanita yang mengalami syok budaya. Bahkan magnit permainannya karena totalitas dan intensitasnya yang – pinjam istilah Rendra – berenerji dinamit.

Sebagai penonton muda – saat itu usia saya 20-an – saya benar-benar tersedot oleh kumparan magnitnya. Sekaligus tergedor oleh enerji ekspresinya, atas totalitas penjiwaan dan seni ektingnya.

Sejak itu saya tidak lagi menemukan pemain wanita sekuat Renny. Yang ada pemain yang lemah dalam tehnik dan penjiwaan. Kalau pun ada yang lumayan bagus, permainannya merupakan hasil cetakan sutradara.

Apalagi sutradara yang gatal tangan, kebanyakan mereka bermain sekadar menjalani perintah sutradara tanpa mampu mengembangkan olah laku dan penjiwaan. Sehingga di tengah permainan mereka, tangan sutradara yang gatal masih tampak membayang-bayangi di atas kepala.

Bersyukur pada 23 Februari lalu saya bisa menyaksikan permainan seorang monologer muda, Elliya. Di Kedai Sanutoke yang terbatas tehnik panggung, dia memainkan lakon monolog gubahan Zoex Zabidi “Bidadari Kesepian”.

Dalam keterbatasan tempat itu, dia mampu menghidupkan galau batin seorang gadis yang dilanda putus cinta. Permainannya sangat intens, dengan seni ekting yang seolah mau mengatakan: inilah saya dan inilah dunia saya.

Dia seakan bermain tanpa peduli ada penonton atau tidak, asyik sendiri tapi memiliki kecerdasan tertentu yang jarang dimiliki aktor kaliber kakap sekali pun. Tangan dingin sutradara, Zoex, samasekali tak tampak membayangi.

Sebagai penonton saya larut dalam irama permainannya, dan saya ter-strum oleh seni ekting dan penjiwaan yang intens itu. Setiap gerak dalam ruang sempit kursi – sepanjang permainan ia memang hanya berkutat di kursi – atau dialog yang diucapkan bahkan secara gumam atau desah, telah menjadi sebagai permainan mendarah-daging.

Satu kelebihan yang dimiliki Ellya, di tengah banyak pemain wanita yang banyak seakan terbuat dari lilin, karena ketidak-mampuan menampilkan kejujuran/telanjang diri. Sehingga kalau Renny dikatakan memiliki enerji dinamit, Ellya mempunyai enerji strum.

Selebihnya persoalannya tinggal proses waktu, sebagai pemain muda usia. Bagaimana ia lebih menambah watt dalam enerji strumnya. Itu saja.