Scroll untuk baca artikel
Sastra

Emily Dickinson, Nenek Moyang Penyair Liris yang Dilupakan

Redaksi
×

Emily Dickinson, Nenek Moyang Penyair Liris yang Dilupakan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Eko Tunas

EMILY DICKINSON, NENEK MOYANG PENYAIR LIRIS YANG DILUPAKAN CUCU-CUCUNYA
Oh, di Mana Saya?

Barisan.co – PENYAIR YOGYA 1980-an acap mendendangkan lagu dari puisi Emily Dickinson “I’m Nobody Who Are You”. Lagu itu pertama saya dengar kala pentas Lagu-Lagu Puisi di Karta Pustaka Yogya 1978. Dinyanyikan oleh duet Ebiet G Ade dan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Lalu Emha mengenalkan puisi-puisi Emily.

Dari diskusi kami sambil main gaple di rumah kontrakan Emha (rumah bekas warung yang nempel di tembok keraton) disimpulkan bahwa, Emily adalah nenek-moyang para penyair liris se Indonesia bahkan sedunia.

Lalu dari diskusi itu puisi yang saya tulis justru “Sajak Bermain Domino”, dimuat di Pelopor Yogya dengan redaktur pengganti Umbu, Teguh Ranusastra. Puisi main-main itu ada juga di buku puisi saya pertama, “Sajak Dolanan” yang belakangan diberi catatan ingatan oleh redaktur dan wartawan musik Minggu Pagi, Latief Noorochman.

Puisi yang menurut Emha dibicarakan para redaktur sastra justru puisi pendek saya:

OBSESI
mimpi
mandi
sepi


PENYAIR WANITA Amerika (1830-1885) ini kala hidupnya tidak dikenal. Tapi setelah tiada, keluarganya menemukan 1700 sajak di buku harian Emily, dan mereka menyebutnya sebagai catatan harian Emily. Tapi seorang kritikus kemudian menyebutnya sebagai sajak-sajak dengan gaya bahasa terbaru yang belakangan disebut liris.

Menurut paman google, puisi liris Emily itulah yang disukai pembaca Amerika penyuka kemurungan. Sajak-sajak yang bicara tentang kesedihan hidup dan waktu menanti kematian. Lalu menurut diskusi gaple, Emily adalah nenek moyang penyair liris sedunia, juga mbah-mbahe para penyair melo di Indonesia — tak usah sebut nama-nama lah.

Bisa jadi lagu mereka I’m Nobody itulah yang menaungi kepenyairan para penyair Yogya kala itu. Untuk tidak menyebut, mereka juga cucu moyang Emily. Puisi-puisi yang bermain-main di sekitar aku-lirik khas Nenek Emily.

Adapun saya masih terus bermain-main di seputar bermain domino, termasuk sajak saya, Bermain Remi. Juga yang dimuat di Suara Merdeka dengan redaktur sastra Bambang Sadono. Misalnya sajak Berjalan Mundur atau Zainal Penghemat (1981), yang muncul di antologi lanjut.


DALAM PETUALANGAN saya — untuk tidak menyebut pelarian — di awal reformasi, saya beralih ke puisi-puisi reformasi. Puisi-puisi yang saya tulis di Brebes itulah yang kemudian dibukukan dalam judul “Yang Terhormat Rakyat”. Lagu I’m Nobody masing acap saya gumamkan.

Anehnya searus bergulirnya reformasi saya banyak menulis puisi-puisi melo. Lalu diterbitkan dalam buku “Ponsel di Atas Sprai”. Lebih menggila lagi bersamaan munculnya hp, buku saya terbit kemudian “Aorta”. Apakah ini kecenderungan modus penyair tua.

Dalam pada itu penyair perlawanan milenia tampaknya mau berusaha keluar dari virus modus. Anehnya yang kerap mereka bilang ingin oncat dari pengaruh penyair melo Indonesia.

Padahal kalau tidak meninggalkan sejarah yang harus mereka katakan: keluar dari garis keturunan Nenek Emily Dickinson.

NB:
Sub judul diambil dari grup FB saya Puisi Komedi, tapi mohon bedakan komedi dengan humor apalagi banyol.***