BARISAN.CO – Syekh Ahmad Zarruq, demikian beliau biasa disebut. Bernama lengkap Abu al-Abbas Ahmad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Isa Zarruq al-Fasi al-Burnusi. Masa hidup beliau antara tahun 1442–1493 M, kalau di tanah Jawa sezaman dengan masa-masa kemunduran Majapahit, yakni mulai pemerintahan Prabu Brawijaya V, yang naik tahta tahun 1447, dan cikal Walisongo yang dipimpin Sunan Ampel.
Kemudian Syekh Ibnu Ajibah, yang lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Mahdi bin al-Husain bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hujuji al-Hasani. Masa hidup beliau, 1748-1809 M. Sebagaimana halnya Syekh Ahmad Zarruq, Syekh Ibnu Ajibah juga merupakan ulama dan tokoh sufi yang berpengaruh di Maroko.
Saya tertarik untuk mengulik al-Hikam ulasan Syekh Ahmad Zarruq, juga Syekh Ibnu Ajibah, selain sebab baru buku beliau berdua yang saya suntuki, adalah lebih karena mereka itu ulama yang menganut tarekat Syadziliyah. Sehingga, serasa pas membaca, kemudian menarasikannya di sini.
Kita tahu, Syekh Ibnu ‘Athaillah, penganggit kitab al-Hikam, merupakan guru tarekat Syadziliyah ketiga, setelah Syekh Abu al-Hasan asy-Syadzili, dan Abu al-Abbas al-Mursi. Sedangkan Sayyid Ahmad Zarruq menjadi guru kesembilan di tarekat tersebut. Sementara Syekh Ibnu Ajibah berada dalam urutan 22, atau yang ke-39 kalau merujuk pada Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, sebagai pencetus tasawuf.
Dalam hikmah pertama, Syekh Ibnu ‘Athaillah membedah soal kelaziman umat Islam yang bersandar pada kemampuan mereka sendiri, sebagai tiket memperoleh surga. Sang syekh menuturkan, “Salah satu tanda jiwamu bergantung pada kemampuan diri adalah kecilnya hatimu berharap akan pertolongan Tuhan ketika engkau gagal.”
Berkaitan dengan itu, Syekh Ahmad Zarruq membagi manusia dalam tiga golongan. Pertama, golongan yang bersandar pada amal. Golongan ini mengabaikan karunia Allah, karena yang mengendap dalam benaknya hanyalah mengumpulkan amal. Bahwa tujuan hidup adalah seoptimal mungkin bekerja dan bekerja. Syekh Zarruq menyebutnya maqom “Islam”, karena takut dan harapnya masih bertumpu pada amal. Sedang Syekh Ibnu Ajibah menyebutnya amal syariat, amal yang membereskan perkara lahir, atau sekadar bermakna beribadah kepada-Nya.
Kedua, golongan yang bersandar pada karunia Allah. Golongan ini berada dalam kedudukan “iman”, yakni menyadari karunia Allah dan tujuan hidupnya adalah melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan. Golongan ini sepenuhnya menyadari selalu bersama qudrat Allah.
Ibnu Ajibah menjelaskan maqom ini sebagai amal tarekat, amal yang membereskan hati dan bermaksud menuju-Nya, tidak lagi sekadar untuk menggugurkan kewajiban beribadah kepada-Nya.
Ketiga, Syekh Zarruq mengidentifikasi sebagai golongan yang bersandar pada pembagian dan ketentuan Allah yang sudah ditetapkan. Beliau menyebutnya sebagai maqom “ihsan”, golongan yang menyadari adanya kendali Tuhan, sehingga yang menjadi perhatian hidupnya adalah semata fana dalam tauhid.
Tanda yang ber-maqom di sini akan tampak pada ketenangannya yang luar biasa. Senantiasa pasrah menetapi semua ketentuan Tuhan, tanpa protes. Syekh Ibnu Ajibah menandai golongan ini telah berkedudukan dalam amal hakikat, yakni laku membereskan jiwa atau ruh. Maqom hakikat ini berarti menyaksikan-Nya.
Nah, nyatalah bahwa hikmah pertama Syekh Ibnu ‘Athaillah ini menandaskan sedianya kita tidak berhenti pada syariat. Karena, jika kita (merasa) amal ibadah masih sedikit, maka sedikit pula harapnya. Jika amalnya banyak, maka besar pula harapnya. Dengan kondisi demikian, bukankah tanpa sadar kita telah menyekutukan Tuhan? Sebab, sukses tidaknya keseharian hidup ini, kita sandarkan pada seberapa serius kita berusaha secara lahiriah. Kita bertumpu pada ungkapan, “usaha tidak akan mengkhianati hasil.”