“Termasuk peizinan-perizinan ekstraktif yang kini menurut UU Omnibus Law telah menjadi wewenang pemerintah pusat sehingga daerah menjadi tidak berdaya,” terangnya.
Penulis Buku “Di Balik Krisis Ekosistem” mengatakan lingkungan hidup banyak sekali terkait dengan “hukum alam”. Hutan lindung jika dirusak oleh siapapun pasti akan memberikan dampak kerusakan berupa bencana alam yang luar biasa.
“Sehingga dari situ perlu keputusan pasti dan bukan hanya persoalan negosiasi politik. Tetapi arah politik lingkungan hidup semakin melonggarkan pemanfaatan eskploitasi sumber daya alam dengan alasan adanya proyek strategis nasional 2021,” terangnya.
Lain lagi dengan Fachruddin M Mangunjaya, Penulis Buku “Generasi Terakhir” menyorot persoalan lingkungan dan peran agama.
Menurut Fachruddin dimensi etik, di antaranya peran agama perlu diketengahkan kembali dalam kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungan, apalagi jika dikaitkan dengan bencana perubahan iklim pemanasan global yang segera melanda.
“Praktik-praktik korupsi institusional, kesalahan tata kelola dan lain-lain yang berdampak pada kerusakan lingkungan harus segera disadari sebagai hal memalukan dan harus dihentikan,” imbuhnya.
Menurutnya, sejak 2015 telah coba diupayakan penyadaran-penyadaran melalui ajaran agama bagi penyelamatan lingkungan bekerja sama dengan berbagai institusi.
Fachruddin mencontohkan, ketika terjadi kebakaran hutan dahsyat pada 2015 di Riau sehingga BNPB merasa kewalahan, diadakanlah salat minta hujan dan seketika terjadi hujan cukup besar.
“Pendekatan-pendekatan kearifan lokal melalui agama dan tinjauan metafisika yang kerap dianggap tidak ada, kadang-kadang justru membantu,” terangnya.
Menurut Fachrudiin sebagai negara yang berkeTuhanan, perlu dilakukan lagi pendekatan-pendekatan spiritual seperti itu dalam penanggulangan kerusakan alam.
“Pesan-pesan moral sebagaimana ditulis dalam “Generasi Terakhir” perlu disosialisasikan sebagai generasi terakhir anak manusia yang perlu menyelamatkan Bumi sebagai warisan luhur,” pungkasnya (Luk)