Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Faisal Basri: Terjadi Pelemahan Pondasi Ekonomi, Hasilnya Tumbuh Kerdil

Redaksi
×

Faisal Basri: Terjadi Pelemahan Pondasi Ekonomi, Hasilnya Tumbuh Kerdil

Sebarkan artikel ini

Diskusi Publik Awal Tahun 2023 INDEF dengan tema Catatan Awal Tahun 2023 dari Ekonom Senior INDEF

BARISAN.CO – Terjadi pelemahan pondasi ekonomi nasional yang semakin lama semakin buruk. Hasilnya ekonomi memang tumbuh tetapi kerdil. PDB akan terus melambat dan sampai 2024 mendatang sepertinya akan serupa saja. Sementara para calon presiden saat ini belum kunjung menawarkan akan membawa Indonesia seperti apa.

Demikian disampaikan Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri dalam Diskusi Publik Awal Tahun 2023 INDEF dengan tema Catatan Awal Tahun 2023 dari Ekonom Senior INDEF, Kamis (5/1/2023).

Faisal Basri menyampaikan rata-rata pendapatan negara melandai dibandingkan negara-negara tetangga yang pada awal pembangunannya berada pada titik yang hampir sama dengan Indonesia dulu seperti Korea, china, Malaysia, Thailand. Sementara Vietnam dan Filiphina sebentar lagi akan menyusul Indonesia.

“Sektor penghasil barang, memang sudah pulih dari covid 19 dan PDB pada 2022 mencapai 5,4 % lebih tinggi dari sebelum covid. Tetapi, stukturnya timpang sekali. Yang pulih adalah sektor jasa 7% – 11%. Sementara sebagian besar rakyat Indonesia masih bertumpu pada sektor pengahasil barang. Sektor jasa hanya menopang sektor barang. seperti jasa transportasi dari hasil pertanian dan lain-lain,” imbuhnya.

Lebih lanjut Faisal mengatakan pemulihan ekonomi yang terjadi luar biasa timpang, antara sektor jasa dengan sektor barang. Ada rongga yang kian melebar dari keduanya.

“Struktur ekonomi politik membuat kegiatan instan lebih utama karena medapat uang lebih mudah, cryptocurrency. Dll yang jauh dari dunia rakyat nyata,” sambugnya.

Sementara petumbuhan industri manufaktur mengalami pertumbuhan yang praktis selalu lebih rendah dari PDB. Jadi mengalami pelambatan sebelum mencapai titik optimum, dibandingkan negara lain. Pertumbuhan industi kita meroosot tajam sehingga hanya 18,3%. Sebentar lagi disalib Vietnam, tetapi jauh tertinggal dari China, Thailand dam Malaysia.

“Padahal kalau sektor industri lemah maka kelas menengah juga kana lemah – buruh formal sedikit. Akibatnya, karena struktur manufaktur lemah maka yang bisa dijual keluar juga terbatas produk manufakturnya. Tidak heran, jika kita menjadi semakin terus bergantung pada ekspor komoditas yang hanya butuh daya tenaga fisik, dan bukan kerja otak untuk meningkatkan produktivitas,” jelas Faisal.

Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini menyampaikan 90 % dari ekonomi adalah politik, demikian pula sebaliknya, 90 % dari politik adalah ekonomi. Konflik-konflik di timur tengah tentang minyak itu sebetulnya adalah konflik politik.

“Demikian pula dengan kebijakan APBN, kuota dan lainnya adalah juga ranah politik,” tambahnya.

Menurut Rektor Paramadina ini masalahnya, saat ini terjadi politik Asimetris yang ditandai dengan demokrasi semakin mundur dengan indeks yang terus mengkhawatirkan. Asimetris dimana penguasa, politisi menentukan segala keputusan atas sumberdaya ekonomi dan politik untuk kepentingan terbatas.

“Akses rakyat terhadap sumberdaya kecil.  Para akademisi meneliti kondisi tersebut dan menyimpulkan bahwa rezim yang dibangun dengan demokratis saat ini justru yang merusak demokrasi itu sendiri. Politik asimetris terjadi dengan gerak oligarki yang menjadi pemutus semua persoalan dengan tanpa adanya kritik dan kontrol oleh parlemen yang menjadi parlemen paling lemah,” sambungnya.

Survei-survei politik memperlihatkan ketakutan rakyat terhadap regim, aparat. Survei tesebut menunjukkan bahwa telah terjadi situasi ketakutan publik untuk bicara politik. 60% responden menyatakan takut bicara politik.

“Mereka merasa takut kepada aparat yang kejam dan semena-mena. Publik juga takut untuk ikut dalam organisasi dan menjadi takut juga dalam menjalankan ibadah agamanya. Sayangnya, terjadi pembiaran terhadap langkah semena-mena tersebut oleh ororitas politik dan kekuasaan,” jelas Didik.