Oleh: Fazwar A. Jambak*
Barisan.co – Suatu ketika, di kantin kampus kita dikejutkan kedatangan mahasiswa legend, namanya dikenal luas dan sering jadi rujukan ketika diskusi atau namanya disebut-sebut saat bercanda konyol di ujung kantin. Mahasiswa jomblo seperti saya memang selalu menghabiskan waktu di kantin bersama teman-teman MAPALA.
Beliau masuk legenda karena kuliah yang tak kunjung lulus. Masa belajarnya dihabiskan tiga periode presiden dan empat periode rektor. Ya, sebelas tahun lamanya dia begitu menyukai statusnya sebagai mahasiswa.
Begitu legendanya, mahasiswa di generasiku, adik tingkat dan para seniorku pasti semua kenal nama beliau, walaupun tak pernah melihatnya. Termasuk aku, hanya kenal nama tapi belum pernah bertemu.
Kedatangannya kali ini sebuah anugerah, selain ingin mengenalnya, bulan ini kami sedang ada kegiatan rekonsiliasi di Kali Urang. Kami bergegas ke kantin, tentu tak lupa proposal kegiatan sudah siap ditanganku.
Sesampainya kita di kantin, saya masih menebak-nebak orangnya, mencari apa yang menarik dari salah satu tiga tamu ini.
Ada 1 orang yang sangat vokal, baju dilipat setengah lengan, bicaranya semangat, tangannya mengepal sambil menegaskan intonasinya, bicaranya runtut, tutur katanya seperti orator ulung, nadanya seperti marah tapi gampang tertawa.
Ah, tak salah lagi, pasti ini orangnya batinku. Langsung saya memperkenalkan diri.
“Saya Lay Bang, Ketua BEM saat ini.”
Dia terima salaman menjabat tanganku erat sekali, terkesan tegas sambil di goncang-goncang.
“Salman Dianda Anwar,” jawabnya singkat.
Beliau menatapku dalam, semua langsung diam, dan fokus ke saya. Inilah ciri khasnya beliau, selalu menatap dan penuh seksama memperhatikan lawan bicaranya. Selanjutnya saya mengenal beliau ini adalah orang yang mampu mengingat semua momen, dan tak mudah lupa dengan nama yang pernah dikenalnya.
Dia menatapku begitu dalam, kesempatanku mengambil panggung, batinku. Agak grogi ditatap begitu, saya mencoba menguasai situasi menceritakan keadaan BEM dan kegiatannya. Dan tak lupa kertas andalanku, ya Proposal Kegiatan saya serahkan padanya. Berharap ada dana yg akan keluar dari kantongnya.
Beliau membaca sejenak, membolak-balik proposal. Tampaknya dia tidak tertarik pada kata pengantar. To the point, langsung fokus pada acara dan dana. Beliau langsung mengeluarkan isi dompetnya. Sekilas saya mengintip, isi dompetnya ternyata pas-pasan banyak kertas yang tidak terpakai daripada gambar pahlawan.
Tapi dengan begitu, dia masih menarik beberapa lembar. Menyerahkan kembali proposal itu padaku.
“Saya buatkan kuitansi bang?” Kataku.
“Tidak perlu. Dana itu untuk kalian saja, tambah-tambah untuk kalian cari dana.” Katanya singkat.
Beliau langsung menarik nafas panjang, seperti mau memulai pidato.
Saya terdiam pas di hadapannya, menunggu dia saja yang bicara. Dan ternyata benar saja, dia menasihatiku serius :
“Adinda, coba angkat tanganmu. Buka telapaknya telentangkan mengadah ke atas.” Katanya.
Lalu, aku ikuti saja perintahnya.
“Nah,ini adalah posisi tangan meminta dek.” Katanya tegas.
Lalu aku sangat terkejut, dia sedang mendikteku.
“Lalu sekarang, balik tanganmu telungkupkan, telapaknya di bawah. Nah ini, posisi memberi dek.” Lanjutnya lagi.
“Nah, sekarang sejajarkan tanganmu seperti orang salaman. Nah, ini tangan posisi kerjasama dek.” Tuturnya lagi.
Menarik nafas sejenak, beliau melanjutkan nasihatnya lagi.
“Orang yang paling lemah adalah telapak tangannya mengadah ke atas, orang kuat telapak tangannya mengadah ke bawah, jika kau tidak pada keduanya, maka posisikan tanganmu untuk kerja sama.” Katanya sambil menggegam tanganku erat seperti pertama kenalan tadi.
“Adinda, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain. Biasakan posisi tanganmu telungkup atau setidaknya sejajar. Hindari untuk mengadah, biarlah posisi itu hanya untuk Allah, pada-Nya lah kau meminta dan berharap.”
Dia terus melanjutkan nasihatnya, tapi aku sudah tidak lagi mampu mendengarnya. Aku lebih fokus menertawakan diri dan menahan malu di depan senior legend ini.
Nasihatnya ini membuatku terpukul hebat. Sejak itu aku tidak lagi buat proposal meminta uang. Aku selalu menawarkan kerja sama, atau setidaknya kami jualan kaos souvenir atau sampai cuci mobil dosen untuk mendapatkan uang kegiatan.
Kata-kata itu masih berbekas hebat. Rasanya seperti pahatan batu sampai saat ini. Setiap ada pengemis, oknun pejabat, oknum aparat yg mengadahkan tangan aku selalu ingat nasihat itu. Tak sedikit juga mereka saya nasihati demikian.
Terima kasih Kanda, atas nasehat itu. Maka aku kini berusaha menciptakan lapangan kerja, agar tanganku tidak lagi mengadah keatas, seperti katamu.
Dan ini juga alasanku menolak Omnibus law, karena era ini menciptakan budak yang legal, bukan mendorong produktivitas dan kreativitas. Kita memudahkan pemodal untuk memperkerjakan kita. Bukan melindungi bibit yang tumbuh di bawah pohon besar, tapi memupuk pohon besar agar yang tumbuh hanya pohon beringin Pak Airlangga.
Slogan kerja di era ini telanjur untuk menciptakan kerja, bukan kerja untuk menciptakan sesuatu. Lalu, jika kita menyembah para pemodal, apa cerita ekonomi Pancasila akan bisa tumbuh di bawah pohon rindang? [Put]
Fazwar A. Jambak, Social-preneurship tinggal di Lampung
Diskusi tentang post ini