Barisan.co – “Sejak tidak henti-hentinya manusia bergulat dengan hukumnya,” kata Satjipto Rahardjo, “Maka sesunguhnya dalam urusan hukum-berhukum itu, kita tidak selalu berhadapan dengan perjalanan yang lurus-lurus dan normal-normal saja, melainkan sering penuh dengan patahan dan kelokan.”
Satjipto Rahardjo adalah nama penting dalam pembicaraan hukum di Indonesia. Lahir di Banyumas, 15 Februari 1930, ia seolah datang ke dunia membawa tugas khusus, yaitu mengajarkan kita untuk bukan sekadar menjalankan hukum (making the law), tetapi juga mematahkan dan merobohkannya (breaking the law) ketika hukum tidak mampu menghadirkan alasan kenapa itu dibuat, yaitu: mencipta harmoni, kedamaian, ketertiban, dan pada gilirannya, kesejahteraan dan keadilan di masyarakat.
Dalam sejarahnya, manusia sebagai makhluk sosial merancang hukum agar kehidupan dapat dijalani bersama-sama secara adil. Di sisi lain, sejarah juga menunjukkan, ketika hukum yang dibuat untuk melayani manusia sudah dirasa tidak adil, hukum itu tidak segan-segan ditinggalkan demi mencapai keadilan yang diharapkan.
Sejarah tersebut belum rampung dan sedang terjadi. Tampak bahwa, pada dasarnya hukum bukanlah sesuatu yang mantap, baku, dan sudah selesai. Hukum terus berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia. Hukum, demikian Satjipto Rahardjo, sejatinya adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
Hukum dan Permainan Bahasa
Bagi Prof Tjip—sapaan akrab Satjipto Rahardjo—penting untuk selalu memeriksa korespondensi antara yang di dalam dan di luar hukum. Sejauh apa yang ia nilai, telah ada ketimpangan antara keduanya, dengan lebih dominannya teks sebagai aturan, daripada teks yang ditempatkan dalam konteks masyarakat. Dikatakan secara singkat: hukum semakin diamalkan secara tekstual.
Konsekuensi dari pemaknaan hukum tekstual tentu saja cukup merepotkan. Ia menjadi wajib dipatuhi sekalipun merampas kemerdekaan, menindas hak asasi, atau menjadi alat kekuasaan. Di sini, berlakulah adagium Romawi kuno yang membuat manusia berhukum secara kaku dan hitam-putih: Lex dura sed tamen scripta, sekejam apapun sebuah hukum, memang begitulah teksnya.
Yang terjadi kemudian, manusia disibukkan dengan teks, pembacaan teks, pemahaman teks, dan lain-lain. Sayang, seturut pandangan Prof Tjip, akar filsafat hukum modern yang serba teks ini sering kali datang dari proses mereduksi gagasan utuh ke dalam permainan bahasa.
Ia mencontohkan, misalnya, pencurian yang konon dalam komunitas Jawa ada lebih dari sepuluh macam (maling, jambret, copet, ngutil, dan lain sebagainya) didefinisikan menjadi “barang siapa dengan sengaja mengambil barang orang lain”. Sebuah potret pencurian yang penuh, telah direduksi menjadi sebuah konstruksi bahasa. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku: Bab III dan IV).
Tidak banyak hal yang dapat terwadahi dalam teks tertulis, seperti suasana dan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada suatu saat, serta moral yang dipeluk masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.
Akan tetapi hukum modern, demikian Prof Tjip, memang tidak dapat menghindar dari penggunaan teks-teks yang dibuat secara rasional. Di lain pihak, aturan-aturan perundangan tertulis itu pun sebetulnya tidak dapat menggantikan secara sempurna hukum sebagai suatu kaidah alami, di mana masyarakat merupakan satuan yang paling memengaruhi di balik perumusannya.
Hukum Sebagai Perilaku
Pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo, pada dasarnya menaruh anggapan bahwa masyarakat adalah pabrik yang memproduksi hukum. Peran perilaku masyarakat dengan begitu menjadi fenomena terpenting dari hukum. Dari perilaku masyarakat itulah hukum berasal.
“Untuk dapat melihat perilaku manusia sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai hukum. Yaitu tidak hanya sebagai peraturan (rule), tetapi juga perilaku (behaviour). Selama kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain, maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk perilaku.” (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku: Bab III dan IV).
Padahal, banyak sekali contoh peran perilaku sebagai hukum (Prof Tjip juga sering menyebutnya ‘hukum-di-luar-teks’) yang ada di Indonesia.
Apa yang dilakukan mahasiswa terhadap Presiden Soeharto pada 1998 adalah satu contoh paling mudah dipahami. Di mana, mahasiswa menentukan, berdasarkan pengalaman batinnya, tentang apa yang mereka anggap mencerminkan keadilan. Di saat yang sama, mereka menyingkirkan undang-undang, teks-teks, yang menyebut bahwa kekuasaan Presiden Soeharto masih berlaku sejauh konstitusi membolehkan.
Berhukum Secara Luar Biasa
Kemauan institusi hukum kita untuk melihat perilaku masyarakat, menurut Prof Tjip, adalah hal luar biasa yang perlu dilakukan. Langkah ini dapat dimulai dari kemauan untuk melihat kenyataan, bahwa dengan berhukum secara biasa, di mana hukum (legislatif, eksekutif, yudikatif) menjadi pekerjaan rutin seperti mesin, selalu gagal meredam suasana gejolak yang terjadi setiap saat.
Pada kenyataannya di Indonesia, hukum memang selalu mendapat gugatan. Mahasiswa berteriak di depan Istana; menggeruduk masuk ke dalam ruang sidang DPR; unjuk rasa di depan kantor Mahkamah Konstitusi. Keadaan bergejolak itu paling banyak mencerminkan betapa ada sesuatu yang kurang dalam menjalankan hukum.
Pada akhirnya, dalam pemikiran progresif, sangat penting menyadari bahwa hukum harus selalu menimbang dinamika masyarakat. Dan langkah ‘hukum-di-luar-teks’ itu tidak dapat diabaikan. Lebih-lebih saat para penegak hukum dihadapkan pilihan sulit, antara memperjuangkan undang-undang atau mempersembahkan keadilan bagi masyarakat banyak.
Diskusi tentang post ini