Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Dari Mahabharata: Menegakkan Harga Diri

Redaksi
×

Dari Mahabharata: Menegakkan Harga Diri

Sebarkan artikel ini

DALAM serial epos Mahabharata, martabat manusia atau harga diri, sepanjang saya ikuti, menjadi topik utama. Seorang Bisma, demi menjaga martabat Raja Santanu dan Kerajaan Hastinapura, rela membujang seumur hidup dan menanggalkan kedudukan sebagai putra mahkota.

Pandawa lima, putra Pandu, juga demikian. Mereka selalu mengalah atas perilaku curang saudara mereka, Kurawa. Rela mengasingkan diri ke hutan, meninggalkan tahta Kerajaan Hastinapura. Karna, Raja Angga, pun tak kalah istimewa. Ia, meski berpihak pada Duryodhana, tahu betul bahwa memegang kata-kata, sekalipun harus bermusuhan dengan saudara-saudaranya, mesti dijaga rapat seutuh hidup.

Mahabharata, versi asli India, itu terasa jauh lebih menggugah ketimbang versi Jawa. Saya dan istri menuntaskan serial tersebut, tak jarang, larut menitikkan air mata. Cerita penuh haru, menghentak perasaan. Saya memendam rasa kasihan pada Ibu Kunti yang bertahun-tahun menjaga rahasia identitas asli Karna, demi nama baik Pandawa, juga Pandu, suaminya. Ya, Ibu Kunti bertahun-tahun rela dalam kesakitan sebagai pendosa. Sebagai yang khilaf telah ceroboh mengundang Dewa Surya. Kunti pun menempuh jalan sendirian.

Sekali lagi, Mahabharata apik bertutur soal martabat manusia. Terkait harga diri yang mesti dibawa hingga ajal menjemput. Sungguh, luar biasa. Serial yang lahir ribuan tahun itu hingga kini masih memikat untuk dihikmahi, dikhidmati. Serial yang menggugah jiwa. Serial yang menegaskan bahwa persoalan harga diri, persoalan martabat, persoalan moral, telah mendarahdaging sebagai pelajaran hidup seumur umat manusia.

Tak aneh, memang. Karena Mahabharata, dan juga Ramayana, lahir dari buah pikiran seorang pujangga, filsuf India 500-an SM. Masih (dan saya yakin) akan bertahan dan tetap menawan hati hingga masa-masa mendatang.

Saya menggandrungi Mahabharata lantaran kisah orang-orang besar dalam menegakkan harga diri. Keteguhan martabat sang insan penuh moral. Orang-orang besar yang satu ucapan dengan perbuatan. Orang-orang besar yang menyuguhkan tontonan sebagai tuntunan. Yang menghibur saat gundah menyergap. Yang melipur saat kita sendiri.

Saya pun akhirnya percaya, membicarakan harga diri itu tak akan ada habis-habisnya. Setiap agama menawarkan konsep diri. Filsafat, kidung-kidung, dan karya sastra dari setiap zaman, tak ketinggalan selalu menyelipkan pesan terkait harga diri. Termasuk teks-teks suci Al-Qur’an berlimpah pesan tentang diri dan martabat seorang muslim. Saya kerap diingatkan istri yang menyitir ayat 4-6 surat At-Tin, nilai diri manusia tak lain tak bukan berupa iman dan ihsan/amal saleh.

Apa itu iman? Apa itu ihsan? Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw., kaya akan penjelasan iman dan ihsan. Iman sebagai sisi dalam. Sebuah lorong abstrak, tidak nyata, dan mesti dinyatakan. Sedang ihsan merupakan sisi luar yang kasat mata, yang dapat dirasakan, dicontoh.

Karena sisi dalam, iman merupakan dunia diri yang hanya diri sendiri dan Tuhan yang mengetahui petanya. Orang lain tidak ada yang mengetahui, entah itu wali, entah orang suci, apalagi paranormal. Semesta diri adalah lorong rahasia antara si pelaku dengan Tuhan. Sebuah gejolak nurani, yang senantiasa mengingatkan kita, tatkala kita melenceng dari rel kebenaran. Tatkala kita berlaku serong pada makhluk. Tatkala kita memuja dan menuruti ambisi. Tatkala kita malu atau tidak suka orang lain mengetahui.

Nabi saw. bersabda, “Kebajikan itu ialah budi pekerti luhur, dan dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam dadamu dan kamu tidak suka orang lain mengetahuinya.”

Sehingga jelas sudah, manusia berpotensi untuk selalu memenangkan Tuhan, memenangkan suara nurani. Bisma seutuh umur tak menuruti keinginannya. Ia bersetia pada sumpah yang hendak meneguhkan kerajaan Hastina. Karna rela dihujat demi kesetiaannya memegang ucapan. Drupadi berkorban demi keluhuran keluarga Pandawa. Dan, Yudhistira seumur hidup mengesampingkan dusta, persis Abu Bakar Ash-Shidiq, sahabat Nabi saw., yang selalu berkata lurus. Syahdan, dari Mahabharata itu, lantas masihkah kita bersetia hanya akan menjaga harga diri? Yang hanya bertuhankan Dia, yang maha terbandingkan itu?