DALAM serial epos Mahabharata, martabat manusia atau harga diri, sepanjang saya ikuti, menjadi topik utama. Seorang Bisma, demi menjaga martabat Raja Santanu dan Kerajaan Hastinapura, rela membujang seumur hidup dan menanggalkan kedudukan sebagai putra mahkota.
Pandawa lima, putra Pandu, juga demikian. Mereka selalu mengalah atas perilaku curang saudara mereka, Kurawa. Rela mengasingkan diri ke hutan, meninggalkan tahta Kerajaan Hastinapura. Karna, Raja Angga, pun tak kalah istimewa. Ia, meski berpihak pada Duryodhana, tahu betul bahwa memegang kata-kata, sekalipun harus bermusuhan dengan saudara-saudaranya, mesti dijaga rapat seutuh hidup.
Mahabharata, versi asli India, itu terasa jauh lebih menggugah ketimbang versi Jawa. Saya dan istri menuntaskan serial tersebut, tak jarang, larut menitikkan air mata. Cerita penuh haru, menghentak perasaan. Saya memendam rasa kasihan pada Ibu Kunti yang bertahun-tahun menjaga rahasia identitas asli Karna, demi nama baik Pandawa, juga Pandu, suaminya. Ya, Ibu Kunti bertahun-tahun rela dalam kesakitan sebagai pendosa. Sebagai yang khilaf telah ceroboh mengundang Dewa Surya. Kunti pun menempuh jalan sendirian.
Sekali lagi, Mahabharata apik bertutur soal martabat manusia. Terkait harga diri yang mesti dibawa hingga ajal menjemput. Sungguh, luar biasa. Serial yang lahir ribuan tahun itu hingga kini masih memikat untuk dihikmahi, dikhidmati. Serial yang menggugah jiwa. Serial yang menegaskan bahwa persoalan harga diri, persoalan martabat, persoalan moral, telah mendarahdaging sebagai pelajaran hidup seumur umat manusia.
Tak aneh, memang. Karena Mahabharata, dan juga Ramayana, lahir dari buah pikiran seorang pujangga, filsuf India 500-an SM. Masih (dan saya yakin) akan bertahan dan tetap menawan hati hingga masa-masa mendatang.
Saya menggandrungi Mahabharata lantaran kisah orang-orang besar dalam menegakkan harga diri. Keteguhan martabat sang insan penuh moral. Orang-orang besar yang satu ucapan dengan perbuatan. Orang-orang besar yang menyuguhkan tontonan sebagai tuntunan. Yang menghibur saat gundah menyergap. Yang melipur saat kita sendiri.