Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Bung Hatta, Popularitas Sebagai Tuhan

Redaksi
×

Bung Hatta, Popularitas Sebagai Tuhan

Sebarkan artikel ini

SEDERHANA, gambaran sosok Bung Hatta, seperti yang dituturkan para putri beliau dalam sebuah acara televisi. Saya menahan haru, betapa luar biasa sosok proklamator kita yang bak cerita epos Mahabharata, jejaka Hatta baru akan menikah, kalau Indonesia sudah merdeka.

Sumpah yang menggetarkan, yang tak kalah dahsyatnya dengan sumpah setianya tokoh Bisma. Sumpah yang menunjukkan integritasnya sebagai manusia Indonesia, yang mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan negara. Dan si Bung ini membuktikan ucapannya. Ia baru mempersunting Rahmi, dalam pesta yang sederhana, di Yogya 1946.

Saking kelewat sederhana, Sri Edi Swasono, sang menantu, malu ketika mendapati Bung Hatta, tidak bisa beli sepatu bagus, dan tak pernah meminta pada dirinya untuk dibelikan. Padahal sang menantu, jelas sanggup membelikan. Betapa luar biasa.

Beruntung kita hidup di kurun alam kemerdekaan, punya tokoh nyata yang penuh integritas. Tuhan menganugerahi Indonesia, dengan menghadirkan si bung, manusia berdedikasi, menguasai lima bahasa internasional, dan cerdas.

Ya, Bung Hatta cerdas, penyuka buku, bahkan buku Alam Pemikiran Yunani adalah mas kawinnya untuk Rahmi, sang bunga Jawa.

Paling tidak buat saya, sosok Hatta ini benar-benar mantap memukau. Ia menjalani hidup sederhana. Hidup jauh dari gelimang kemewahan, jauh dari mobil seri mutakhir, dan tak kenal deposito, apalagi sampai menyebar ke bank-bank internasional.

Si bung ini juga menginspirasi bahwa akal budi dan kepiawaian dalam mengakrabi persoalan sosial, ternyata jauh lebih bermartabat ketimbang kelimpahan harta. Bung Hatta jauh lebih memuliakan buku, daripada sekadar alas kaki, atau sepatu.

Apalagi kini, konsumerisme mengalir deras, hedonisme telah jadi prasyarat pergaulan sosial, maka laku sederhana yang menampik kemewahan terasa langka. Memang gaya hidup sederhana sering diperdengarkan dalam kotbah-kotbah di masjid.

Sering jadi menu utama dalam sajian kuliah pagi di TV. Malah sempat pula dijadikan ikon kabinet kerja jilid pertama, Jokowi-JK, melarang kegiatan rapat dan pelatihan di hotel.

Laku sederhana, setidaknya sampai hari ini, masih terasa mahal. Ikon kesederhanaan di kabinet jilid pertama pemerintahan Jokowi-JK nyata-nyata tak terbukti. Hanya berlangsung seumuran jagung.

Saya bayangkan, sekira kesederhanaan itu yang jadi pilihan, niscaya korupsi tak merajalela. Dengan kebersahajaan, jeruji penjara bakal sepi dari tapol, dan KPK pun bubar, karena sudah tak dibutuhkan.

Saya bayangkan, dengan meninggalkan gaya hidup hura-hura, beralih pada pola laku sederhana dan mengutamakan orang banyak di atas kepentingan keluarga. Memang susah, tapi bukan mustahil negeri ini pun benar-benar jadi mercusuar dunia.

Bung Hatta hingga ajal menjemput, sanggup menahan diri dari desakan syahwat politik dan harta yang jelas banget berada sangat dekat di pelupuk mata. Bung Hatta sanggup mentalak dunia, bukan jadi yang utama dalam pikiran dan perasaannya. Bung Hatta sanggup memunggungi ambisi pribadi, sanggup mengekang keliarannya pada yang serba sesaat, serba dangkal dan serba konyol.

Karakter Hatta, yang pengabdi, yang setia pada kepentingan umum, berwawasan jauh ke depan, dan mengesampingkan gejolak keinginan sesaat, adalah rekam jejak ideal untuk jadi otokritik generasi kini yang doyan politik praktis, yang malas baca buku tebal.

Karakter Hatta, yang tak silau dengan nama besar, dan ambisi untuk selalu yang terdepan, ialah kisah nyata anak manusia yang berani bersikap lantaran bertuhankan pada yang sebenarnya Tuhan.

Kini, hampir di segala lini sosial, baik usia maupun kesempatan karir profesi, sadar atau tak sadar telah menjadikan uang, jabatan, karir, dan popularitas sebagai Tuhan.